Senin, 11 Mei 2015

4 Organisasi Pers, Siap Aksi Solidaritas Di Polda Papua dan Kantor Geburnur Papua.

Aksi tanda tangan tanda melawan premanisme di Papua.(Icahd/foto). 

Jayapura (SP)- Empat organisasi Pers terbesar di Papua yakni Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Tv Indonesia (IJTI) dan Indonesian Journalist Network (IJN). Siap mengelar aksi solidaritas atas perlakuan premanisme yang dilakukan oleh Bupati Biak Numfor Thomas Ondi terhadap wartawan Cepos, Viktor Palembangan, Sabtu 9 Mei 2105 lalu di Biak.

Aksi yang akan dilakukan ini, tidak lebih merupakan cinta dan semangat persaudaraan. Sebab kita adalah satu Jurnalis.

Demikian pesan BBM yang diterima SULUH PAPUA, Jumat (11/05/2015) sekitar Pukul 08:00 WIT atau jam delapan malam.

Lanjutnya, “Mari dengan aksi solidaritas sesama pekerja media. Kita kepalkan tangan dan bergenggam erat dengan semangat kita datang untuk melawan premanisme terhadap wartawan”.

Aksi solidaritas ini sendiri akan berlansung pada Selasa (Red) Pukul 10:00 WIT atau jam sepuluh pagi. Bertempat di Polda Papua dan Kantor Gubernur Papua. Kita tunjukan kepada semua, kita ada. Sebab kita tak mau dipandang sebelah mata, sehingga hanya satu kata “Lawan”.Pungkasnya.
(RIC).   
     
    

     

Puluhan Wartawan Turun Jalan, Menuntut Premanisme Bupati Biak Numfor.


Solidaritas wartawan menuntut premanisme Bupati Biak Numfor.(Icahd/foto). 
Jayapura (SP)- Puluhan wartawan dari berbagai media baik cetak maupun  elektronik di Kota Jayapura. Turun jalan menuntut Premanisme yang dilakukan oleh bupati Biak Numfor Thomas Ondi terhadap wartawan surat kabar harian Cenderawasih Pos (Cepos) Viktor Palembangan, Sabtu 9 Mei 2105 lalu di Biak.  

Aksi Solidaritas puluhan wartawan terhadap premanisme Bupati Biak Numfor itu, dilakukan dengan cara longmas mengelilingi taman budaya Imbi Kota Jayapura sambil berorasi dan meneteng pamplet yang menuliskan. “Polda Papua harus proses hukum terhadap Bupati Biak Numfor. Pejabat bertangan bestu harus disingkirkan dari tanah Papua. Mansar Bupati mamo rasine awer boy mambe mesri be iwara. Kami wartawan anak Biak merasa malu dengan tindakan premanisme mansar Bupati Ondi. Kalua bukan mambri jangan jadi Bupati Biak Numfor. Save jurnalis Papua. Kami minta Bupati Biak diadili. Bah mansar jangan ko pake sistim napi bungkus dan Stop kekerasan terhadap pers.  

Ketua AJI Kota Jayapura Viktor Mambor, seusai aksi kepada Wartawan, Senin (11/05/2015) menuturkan, “Pihakya (AJI) mendukung upaya hukum yang telah dilakukan oleh Cepos dengan membuat laporan polisi di Polres Kabupaten Biak Numfor itu.

Ia menilai, “Pejabat publik harus menjadi panutan dan pemberi contoh yang baik, “Bukan mengunakan kekerasan atau premanisme. Apalagi berupa kekerasan fisik.   Karena itu, kita harus tuntaskan ini sampai selesai. Sebab bagi kita itu kekerasan, intimidasi dan menghalangi kerja jurnalis. Masalah ini akan diteruskan ke Dewan Pers di Jakarta. Dan Proses hukum dikepolisian terus berjalan, karena ini kriminal murni.

Disingung terkait lembaga atau organisasi pers dalam mengawal proses ini, Ia menuturkan, “Secara solidaritas sesama wartawan rekan-rekan wartawan sudah lakukan. Sehingga proses selanjutnya, kami (AJI) tentunya PWI ini murapakan mandat kita bersama untuk mengawalnya hingga ke proses pidana.  

Namun dari semuanya itu dan hingga terjadi kekerasan terhadap wartawan cepos di biak. Itu murni karena pemberitaan. Pungkasnya.   

(RIC).     

   


       


Minggu, 10 Mei 2015

Jokowi Bebaskan 5 Tahanan Politik Papua.

Jokowi Meny'erahakan Surat Keputusan Presiden tentang Grasi.(Icahd/foto).   
Jayapura (SP)- Sedikitnya lima tahanan politik Papua diberikan grasi atau bebas dari Presiden RI Ir.H.Joko Widodo (Jokowi), Sabtu (09/05/2015) di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA, Abepura, Kota Jayapura. Pantuan SULUH PAPUA Sabtu (09/05/2015) di LP Abepura.   

Lima tahanan yang menerima grasi itu masing-masing, Linus Hiluka yang dijatuhi pidana 20 tahun penjara, Kimanus Wenda yang dijatuhi pidana 20 tahun penjara, Apotnagolik Enos yang dijatuhi pidana 20 tahun penjara, Numbungga Telenggen yang dijatuhi pidana seumur hidup dan Yafrai Murib yang dijatuhi pidana seumur hidup. Kelima tahanan itu divonis dengan pasal 106 KUHP tentang “Makar”. 
  
Grasi yang didapatkan kelima tahanan politik Papua itu, berdasarkan keputusan Presiden Nomor: 19/G Tahun 2105 tanggal 06 Mei 2015.  

Presiden RI Ir.H.Joko Widodo dalam penyampaiannya menuturkan, “Pemberian grasi atau membebaskan lima tahan politik di Papua, “Ini bagian dari upaya pemerintah indonesia dalam rangka menghilangkan stigmatisasi konflik yang ada di Papua untuk mewujdkan tanah Papua tanah yang damai”.  

Ia melanjutkan, “Pemberian grasi ini merupakan awal dari niat baik pemerintah dalam semangat perjuangan pembebasan, dan akan diikuti dengan grasi atau amnesti untuk semua pidana atau tahanan lain di seluruh Indonesia.

Sementara itu, Penasehat hukum dari kelima tahanan Latifah Anum Siregar, SH.MH kepada SULUH PAPUA mengatakan, “Pemberian grasi oleh Presiden Joko Widodo ini, “Merupakan cermin dari sebuah Negara yang menganut, “Negara Demokrasi”. Sehingga, Negara Indonesia telah mengambil langkah baik dalam sebuah proses demokrasi yang dianut negara ini.

Anum melanjutkan, Sekilas tentang kasus kliennya itu, “Dimana kelimanya terlibat dalam pembobolan gudang senjata Kodim 1710/Wamena tahun 2003.
   
 “Dalam menjalani hukuman pidana mereka, awalnya penahanan mereka di Lapas Makasar kemudian di kembalikan ke Papua. Dimana dua tahanan yang menjalani hukuman di Lapas Nabire yakni, Linus Hiluka bersama Kimanus Wenda. Dan tiga tahanan lainnya menjalani hukuman   di Lapas Biak yakni, Apotnagolik Enos bersama Numbungga Telenggen. Sedangkan satu tahanan menjalani tahahan di Lapas Abepura yakni, Yafrai Murib.
 
Disingung terkait Grasi terhadap kliennya, Anum menuturkan, "Saya mengapresiasi pemberian grasi oleh Presiden dan berharap Presiden juga memberikan  grasi kepada tahanan-tahanan Politik lainnya di Papua. Pungkasnya. 

(RIC). 





Wartawan Dibatasi Masuk Ke Lapas, Saat Kunjungan Jokowi.

  Wartawan diperika Pampanpres di Lapas Abepura.(icahd/foto). 
Jayapura (SP)- Sejumlah wartawan kecewa karena dibatasi oleh petugas jaga dan protokoler kepresidenan saat melaksanakan tugas peliputan kunjungan Presiden RI Ir.H.Joko Widodo (Jokowi) di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA, Abepura, Kota Jayapura, Sabtu (09/05/2015) itu.

Alberth, kontributor Trans Tv kepada SULUH PAPUA mengatakan, “Saya dilarang masuk oleh petugas jaga dengan alasan wartawan dibatasi karena ruangannya kecil,  

          Albert mengakui, dengan dibatasinya wartawan untuk melakukan peliputan itu Ia tidak mendapatkan hasil yang maksimal saat peliputan yang ditugaskan oleh kantornya. 

          “Percuma saja kami buat ID Card. Tapi masuk saja dibatasi”. “kesalnya”.  

Sementara wartawan lainnya yakni, Nola Kobe, reporter dari TVRI siaran lokal Papua, bersama kameramennya Budi, menuturkan, “Masa kita dilarang masuk?. Padahal kita ingin back up berita lokal Papua”.

Senada yang sama juga disampaikan oleh Lita wartawan media online nasional menjelaskan, “Saya harus berhimpitan dengan belasan wartawan lain untuk mencoba masuk ke Lapas. Tetapi tidak bisa. Karena kata petugas jaga wartawan dibatasi”.  
  
Lita menyesalkan perlakuan diskriminasi itu, karena wartawan tertentu bisa diizinkan masuk tetapi wartawan lainnya dilarang. Padahal momen itu merupakan momen yang penting. Karena baru pertama kali seorang presiden masuk ke dalam Lapas Abepura.

          "Saya dapat info, dari pengacara lima orang tapol yang diberikan grasi bahwa Presiden Jokowi meminta agar semua wartawan masuk. Tapi rupanya penjaga pintu tidak berikan izin," Jelas Lita.  

          Pada saat kunjungan Presiden Joko Widodo ke Lapas Abepura untuk berikan grasi kepada lima tapol, Sabtu sore, sejumlah wartawan asing dan perwakilan wartawan lokal serta nasional mendapatkan akses masuk. Sementara sejumlah wartawan media lokal dan nasional lainnya tidak diberikan izin. “kata Lita”.
   
Selain itu, kontributor Metro Tv di Papua Ricardo Hutahaean menuturkan, “Ada wartawan yang bisa masuk hanya pakai kaos oblong dan sendal jepit. Ini jadi aneh, terkesan pilih kasih dan diskriminasi.

Ia menghapakan, “Ini menjadi perhatian bagi protokoler kepresidenan dan petugas jaga lainnya di Papua. Agar nantinya saat kunjungan Presiden Jokowi berikutnya ke Papua, bisa memberikan ruang kepada wartawan untuk menjalankan tugas peliputannya.

 Sementara itu, Kalapas Abepura  Bagus Kurniawan yang dikonfirmasi terkait wartawan yang dibatasi saat peliputan di Lapas Abepura itu. Ia mengatakan, Pihaknya tidak membatasi atau melarang wartawan untuk meliput dalam pemberian grasi itu. Namun  seluruh kegiatan di Lapas Abepura saat Presiden memberikan grasi, semuanya diatur oleh protokoler kepresidenan. “Katanya”.
(RIC).   

 


15 Menit 5 Tahanan Politik Papua, Bersama Jokowi Menanti Kebebasan Dari Penjara.

Lima tahanan Politik Papua, saat menyampaiakan keterangan Pers.(icahd/foto).
Jayapura (SP)- Lima tahanan Politik Papua Linus Hiluka, Kimanus Wenda, Apotnagolik Enos, Numbungga Telenggen dan Yafrai Murib yang resmi dibebaskan dari penjara Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Abepura, Sabtu (09/05/2015).    

Linus Hiluka mewakili keempat temannya kepada Wartawan Minggu (10/05/2105) di Kantor ALDP Padang Bulan mengatakan, “Sebelum menanti  detik-detik kebebasan kami. Kami bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di sebuah ruangan tertutup. Saat pertemuan lima belas menit itu, Jokowi didampingi istrinya (Ibu Iriana), Menteri Hukum dan HAM RI Yasona Laoly serta Wakil Gubernur Klemen Tinal.

Linus melanjutkan, “Dalam pertemuan itu Presiden mengatakan, “Pemberian grasi ini adalah inisiatif dari saya, bukan memenuhi permohonan”. Karena sebuah proses amnesti perlu waktu lewat pertimbangan DPR”. Presiden juga minta maaf atas apa yang dilakukan aparat keamanan terhadap kami selama 12 tahun terakhir.

Setelah mendengar Presiden menyampaikan hal itu, kami pun lansung menjawab atas niat baik Presiden itu. “Dengan mengucapkan, terima kasih atas etikat dan niat baik dari Presiden atas kebebasan kami. Namun kami juga minta semua tahanan politik Papua dan Maluku, juga dibebaskan. Baik lewat program grasi maupun amnesti. Presiden pun menjawab, “Bahwa ini baru memulai”. “kata Linus menirukan ucapan Presiden.

Lanjut linus lagi, “Kami juga minta jamiman keamanan oleh Negara setelah pembebasan ini berupa terror, intimidasi dan lainnya”. Karena jaminan ini bukan hanya kami, tetapi juga untuk semua masyarakat Papua. Setelah mendengar penyampaian dari kelima tahanan politik Papua itu, “Presiden pun menjawab dengan mengatakan, “Ini akan saya bicarakan kepada pihak kepolisian dan militer”. “Jelas Linus menirukan ucapan Presiden dalam pertemuan lima belas menit itu”.

Usai kebebasan mereka dari dalam penjara, mereka pun meminta kepada DPR dan pemerintah daerah mendukung rencana Presiden Jokowi untuk membebaskan semua tahan politik, termasuk sahabat kami Filep Karma yang dihukum penjara sejak Tahun 2004.

Kelima tahanan politik Papua itu, bakal menjalani pemeriksaan kesehatan di sebuah rumah sakit di Kota Jayapura. Pemeriksaan ini dilakukan, karena ada diantara mereka ada yang sakit. Namun bila dari hasil pemeriksaan rumah sakit itu menyatakan mereka sehat. Maka mereka akan kembali ketempat tinggal mereka untuk melakukan aktifitas kehidupan seperti masyarakat Papua umum lainnya”.  

“Sehingga itu mereka pun meminta dukungan dan bantuan dari berbagai Gereja, Negara, organisasi masyarakat bahkan pemerintah daerah, agar mereka bisa kembali diterima ditenggah-tenggah masyarakat. Karena tidak mudah untuk kembali dan diterima ditenggah-tenggah masyarakat selama dua belas tahun terpisah dan terkurung dalam penjara.

Mereka pun mengucapkan terima kasih kepada kuasa hukum mereka yakni, Latifah Anum Siregar, SH.MH, DPRP-Papua serta semua pihak yang membantu mereka selama 12 tahun terkahir terkurung dalam penjara.   

Namun dari semua yang dialami mereka hingga mereka bebas dari penjara, mereka teringat pada dua rekan mereka yakni, Michael Hiselo dan Kanius Murib yang bebas dari penjara kecil ke penjara besar (meninggal) dalam masa tahanan. Hiselo meninggal di Makkasar 27 Agustus 2007. Sedangkan Murib meninggal di Wamena 10 Desember 2010. Pungkasnya.     


(RIC).   

        

 
 


           
  
       



     




Filep Karma, Menolak Pemeberian Grasi dari Jokowi.

Filep Karma Tahanan Politik Papua.(Icahd/foto). 
Jayapura (SP)- Untuk sekian kalinya Filep Karma tahanan politik Papua menolak pemberian grasi yang diberikan oleh Negara Indonesia melalui Presiden RI Ir.H.Joko Widodo (Jokowi), Sabtu (09/05/2015) di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA, Abepura, Kota Jayapura. Pantuan SULUH PAPUA Sabtu (09/05/2015) di LP Abepura.
      
. Terkait penolakan grasi  itu, Filep Karma kepada SULUH PAPUA menuturkan, “Saya menolak pemberian grasi karena saya dihukum atas sesuatu yang saya tidak buat dengan tuduhan “Makar”. 
    
Ia menjelaskan, “Perkara “makar” itu, kita lihat dari unsur makarnya itu apa. Apakah saya menghimpun masa untuk merebut kedaulatan Negara, mendirikan Negara di dalam Negara atau merebut wilayah dari sebuah Negara”. 
  
“Tetapi saya hanya mengibarkan bendera bintang kejora untuk merayakan ulang tahun kemerdekaan Papua 1 Desember 2004 di Lapangan Trikora Padang Bulan”. :katanya”.           
Ia melanjutkan, “Sebelum melakukan aksinya itu, ia telah memberikan surat pemberitahuan kepada polisi minta pengamanan, agar dalam kegiatannya jangan diganggu orang maupun pengingkutnya tidak mengangu orang lain. Sehingga dalam menaikan bendera dan menurunkan bendera itu berjalan dengan baik.
    
Tapi, pihak polisi meminta untuk membuat surat ijin, sehingga ia telah memberikan surat ijin tiga hari sebelum aksinya itu. Namun polisi tidak memberikan ijin, sehingga ia berpikir, “Sekalipun tidak ijin, saya bukan minta ijin yang ada itu surat pemberitahuan demo bukan minta ijin”. Tetapi, penolakan perijinan itu tidak digubrisnya, sehingga ia berhasil menaikan bendera bintang kejora dan dirinya ditangkap oleh polisi tanpa barang bukti. “kata Filep”.
  
Lanjut Filep, “Karena menaikan bendera, ia ditangkap dan dituduh dengan pasal 106 dan pasal 110 KUHP tentang perbuatan “makar”. Oleh sebab itu, ia merasa ia dituduh dengan pasal yang tidak ia lakukan. Karena hal yang ia lakukan itu, sama dengan demo damai dalam menyampaikan aspirasi, sehingga ia menolak hukuman pidana penjara 15 tahun terhitung sejak 27 Desember 2004.  

Disingung terkait mengapa menolak grasi dari Presiden, ia mengatakan karena ia merasa kalau diberikan dan menerima grasi itu. Berarti dirinya mengakui kesalahan dan perbuatannya yang ia lakukan itu salah, sehingga harus menerima grasi dari perbuatannya itu. Pungkasnya.
(RIC). 







 
 

 

Dana Otsus Jadi Sumber Pembiayaan Utama APBD Provinsi Papua! Sementara Sumber PAD Dibawah Rata-rata Nasional

Jayapura |Selama periode tahun 2002 sampai dengan tahun 2020, dana Otonomi Khusus (Otsus) telah menjadi sumber pembiayaan utama dalam APBD P...