Senin, 12 Oktober 2015

“Gelar Operasi Justisia, Terjaring 12 Pasangan Mesum Bukan Pasutri”

 Kabag OPS Pelres Jayapura AKP.Sujono.(Icahd/foto).
 

Jayapura (SP)- Pemerintah Kabupaten Jayapura melalui jajaran SAT POLPP, Dinas Sosial, Dinas Capil, Polres Jayapura bersama TNI-AU, Senin (12/10/2015) Malam. Mengelar operasi yustisia dengan focus operasi yakni, Miras, Narkoba dan prostitusi terselubung dan seks bebas.

Sekedar diketahui dari operasi yustisia itu, bermula dari bekas Tanjung Elmo (tempat protistusi umum). Dimana petugas berhasil membekuk sedikitnya delapan orang pasangan “Mesum” bukan suami istri yang mengunakan tempat penginapan dan hotel diluar dari lokasi bekas Tanjung Elmo, untuk melakukan hubungan mesum itu.

Selanjutnya, petugas melanjutkan operasi ke arah Sentani, Kabupaten Jayapura di beberapa hotel di kota tersebut. Dimana di dua hotel itu, petugas kembali menemukan dua pasangan “Mesum” yang bukan suami istri dengan mengunakan hotel sebagai tempat pertemuan mereka.

Selain menemukan pasangan “Mesum”, petugas juga berhasil mendapati penghuni hotel lainnya yang sedang mengelar acara miras bersama, serta menemukan benda tajam jenis badik yang dibawa oleh salah satu penghuni hotel itu.  

Dari hasil rasia itu, para pelaku “Mesum” itu tidak diberikan sanksi hukum, namun hanya sebuah peryataan tertulis. Ketika, pada rasia lainnya nanti, ditemukan kembali pelaku “Mesum” yang sama, maka siap menerima sanksi hukum”.                 

Kabag OPS Pelres Jayapura AKP.Sujono kepada Wartawan Senin (12/10/2015) Malam mengatakan, “Tim gabungan yang kami turunkan dalam operasi yustisia kali ini, berjumlah 75 orang terdiri dari SAT POLPP, Dinas Sosial, Dinas Capil, Polres Jayapura dan TNI-AU”.

“Tujuan dari operasi yustisia ini, tentunya merasia orang mabuk, merasia tempat-tempat yang diduga sebagai tempat prostitusi maupun merasia kegiatan-kegiatan yang ilegal. Ini dilakukan demi terciptanya rasa nyaman, aman, dan kondusif di wilayah hukum Polres Jayapura maupun wilayah pemerintahan Kabupaten Jayapura” “Jelas Kabag OPS”.     

Selain itu, di Kabupaten Jayapura bakal digelar Wisata Vestifal bahari nasional, sehingga kami sebagai tuan rumah harus bisa memberikan rasa aman terhadap tamu-tamu dari sabang sampai merauke yang datang di tempat kita.Pungkasnya.
(RIC).    

  



“Di Demta, Anggota Polisi Menjadi Guru SD”




Bripka.Sahammudin, saat mendampingi anak didiiknya.(Icahd/foto)
Jayapura (SP)- Selain bertugas sebagai anggota polisi di wilayah hukum Polsek Demta yang masuk dalam wilayah hukum Polres Jayapura, Kabupaten Jayapura. Dimana oknum polisi berpangkat Bripka.Sahammudin selain menjalankan fungsi dan tugas kepolisian, namun disela-sela kedinansannya itu, Sahammudin menjadi guru pengajar di SD Negeri Inpres 1 Demta. Pantuan SULUH PAPUA, Senin (12/10/2015) di Distrik Demta, Kabupaten Jayapura.   

Kepala sekolah SD Negeri Inpres 1 Demta, Naomi Anadarinya kepada SULUH PAPUA mengatakan, “Kehadiran polisi menjadi guru pengajar melalui Sdr.Sahammudin ini, sangat membantu dan menolong anak-anak di SD Negeri Inpres 1 Demta.

Disingung terkait apakah memang SD Negeri Inpres 1 Demta ini, kekurangan guru sehingga Sdr.Sahammudin ini menjadi guru pengajar, Kepsek menuturkan“Ya, dibilang kurang ya memang kurang, karena kami hanya memiliki 5 guru PNS, ditambah 5 honorer yang terbagi dalam, 1 orang bidang tata-usaha, 1 orang penjaga sekolah, dan 3 orang lainnya menjadi guru pengajar, itu pun masih kurang”.

Sekedar diketahui, untuk program tahun ajaran 2015 ini, dimana guru-guru harus terverifikasi minimal sarjana (S1). Sehingga guru-guru yang ada di Demta itu, mendapat ijin study di Universitas Cendewasih, guna mengambil S1.   

Lanjut, Kepsek, “Ketika mereka pergi, “Tentunya proses belajar mengajar menjadi tergangu, karena mereka harus membagi waktu, dimana waktu untuk mengajar, dan dimana waktu untuk kuliah, demi mencapai standarisasi dari program sertifikasi guru”.   

Kepsek, menjelaskan, “Niat dari Sdr.Sahmmudin untuk mengajar ini, “Mungkin tergugah, saat melihat buku pelajaran milik anaknya yang masih kurang dengan mata pelajaran seperti mata pelajaran Agama Islam. Untuk mata pelajaran Agama Islam, memang sejak dua tahun terakhir ini kosong karena guru yang bersangkutan sudah pindah ke Provinsi Papua.

Sehingga terkait kekurangan guru agama islam ini, kami sudah sampaikan ke Dinas Pendidikan Kabupaten Jayapura, namun saran dari Dinas, kami pihak sekolah meminta bantu kepada ustad-ustad yang ada di Masjid Demta untuk mengajar agama Islam. “katanya”.    

Melihat belum adanya guru pengajar agama islam, akhirnya Sdr.Sahmmudin menawarkan diri untuk mengajar mata pelajaran agama islam, sehingga kami pihak sekolah membuka diri dan menerima Sdr.Sahmmudin untuk mengajar di tahun ajaran baru di tahun 2015 ini. “katanya lagi”.  

Namun dengan berjalannya waktu, Sdr.Sahmmudin meminta kepada kami pihak sekolah untuk menyampaikan kepada Kapolsek Demta, selaku pimpinannya tentang dirinya, selain jalankan tugas, tapi juga ada mengajar menjadi guru SD”. “tutur perempuan asli Demta itu”.    

Selain mengajar mata pelajaran agama islam, Sdr.Sahmmudin juga mengajar mata pelajaran lainnya mulai dari kelas satu hingga kelas VI yang keseluruhannya berjumlah 230 anak didik, didalamnya itu ada 18 anak didik beragama islam. Ini dilakukan untuk  mengisi kekosongan guru yang mengambil ijin belajar di UNCEN. “tegasnya”.  

Harapnya, “Selama guru-guru yang lain masih menjalani ijin belajar, bahkan Dinas Pendidikan Kabupaten Jayapura, belum menyiapkan guru agama islam, “Ya, mau tidak mau, suka tidak suka, Sdr.Sahmmudin tetap menjadi guru dan mengajar di sekolah kami”.Pungkasnya.

(RIC).  
      

    
  



Kapolsek Demta: Police Go To School, Sudah Menjadi Kebijakan Pimpinan


Kapolsek Demta, IPDA.Purwadi.(Icahd/foto) 
Jayapura (SP)- Police Go To School atau polisi masuk sekolah, itu merupakan kebijakan pimpinan yang harus direspon oleh satuan di bawah polres, guna menindaklanjuti sebuah kebijakan yang berhubungan dengan kepetingan orang banyak. Kebijakan ini, demi kepintingan masa depan bangsa mulai dari pendidikan di sekolah dasar.

Demikian disampaikan oleh, Kapolsek Demta, IPDA.Purwadi, Senin (12/10/2015) di Distrik Demta.

Kapolsek Demta, IPDA.Purwadi kepada SULUH PAPUA mengatakan, “Bahwa pendekatan Police Go To School atau polisi masuk sekolah disetiap jajaran polsek-polsek, guna membantu pendekatan pendidikan kewilayahan. Berdasarkan permasalahan pendidikan di wilayah itu”.

Disingung terkait tidak hanya ada SD Negeri Inpres 1 Demta saja, karena ada beberapa SD lain di wilayah Distrik Demta, yang mungkin memiliki persolan yang sama, Kapolsek menuturkan, “Untuk wilayah pemerintah Distrik Demta ada 7 kampung, tentunya didalamnya itu ada SD yang juga mengalami persoalan yang sama. Sehingga, dengan adanya anggota Babikamtibmas dikampung, mereka bisa membantu proses pendidikan di kampung itu”.


“Tidak ada kata, tidak bisa, tidak ada kata, tidak mungkin karena ini menjadi kebijakan pimpinan. Sehingga itu, kami satuan Polsek Demta, “Siap mejalankan program pimpinan terkait Police Go To School atau polisi masuk sekolah. Karena, kami sudah memulainya. Pungkasnya.   

(RIC).   

 



Jumat, 09 Oktober 2015

“LBH Pers Jakarta, Kecam Tindakan Arogansi Polisi Terhadap Wartawan”


LBH Pers Jakarta.(Icahd/foto).
Jayapura (SP)- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Jakarta mengecam tindakan arogansi aparat keamanan Kepolisian Resort Kota Jayapura dengan mengunakan alat Negara melakukan penodongan bahkan merampas alat liputan yang dipakai wartawan untuk melakukan aktifitas jurnalistiknya.

Demikian disampaikan oleh Asep Komarudin dari LBH Pers Jakarta melalui siaran pers yang diterima SULUH PAPUA, (08/10/2015) Malam.  
Lanjut Komarudin, “Tindakan oknum anggota Polisi tersebut sangat mencederai kebebasan pers dan kebebasan menyatakan pendapat di Indonesia yang sudah dijamin dalam kontitusi”.

Selain itu, perlakuan dari kepolisian resort kota Jayapura merupakan bentuk penghalangan atau menghambat kemerdekaan pers, dan tindakan tersebut adalah tindak pidana sesuai dengan undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers pasal 18 ayat 1 yang berbunyi, “Setiap orang yang melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi kebebasan pers dipidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).”. “jelas Asep”.  

“Apa alagi sampai menodongkan senjata, dan mencekik leher seorang wartawan serta peserta unjuk rasa itu. Merupakan tindak pidana penganiayaan sesuai dengan Pasal 352 KUHP. “tegasnya”.

“Pihak Kepolisian Resort Kota Jayapura telah melanggar hak asasi manusia karena telah membubarkan paksa aksi unjuk rasa sesuai dengan pasal 25 undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia yang menyatakan setiap orang berhak untuk menyatakan pendapat di muka umum.”


“Tindakan oknum Kepolisian Resort Kota Jayapura tersebut sangat bertentangan dengan semangat Presiden Joko Widodo yang membuka akses informasi khususnya bagi kebebasan pers di Papua,” “jelas asep dalam siaran persnya”.


Sehingga itu, LBH Pers Jakarta meminta, pertama, Kapolri memerintahkan Kapolda Papua untuk mengusut tuntas oknum kepolisian Jayapura Kota yang telah melakukan penganiayaan dan penghalang-halangan kebebasan pers dengan KUHP dan UU Pers.



Kedua, Kompolnas dan Komnas HAM agar segera melakukan penyelidikan terkait pelanggaran kebebasan pers dan menyatakan pendapat di muka umum.



Ketiga, Dewan Pers segera mendesak pihak kepolisian untuk mengusut tuntas kasus penghalangan dan penghambatan kebebasan pers di Papua.


Keempat, kepolisian Republik Indonesia, khususnya di wilayah Papua untuk menjamin kemerdekaan pers dan melindungi jurnalis yang sedang menjalankan aktifitas jurnalistiknya di Papua. Dan memastikan kejadian serupa tidak terulang kembali.Pungkasnya.
(RIC).




“Dari Kronologi Premanisme Aparat Keamanan Terhadap Pekerja Media”


Kebebasan Pers.(Icahd/foto).
Jayapura (SP)- Pasca pembubaran paksa oleh polisi terhadap puluhan pemuda/mahasiswa peduli kemanusian yang tergabung dalam Solidaritas Korban Pelanggaran (SKP) HAM Papua, Kamis (08/10/2015) di depan ruas jalan  Kantor POS Abepura, Kota Jayapura.
Selain dibubarkan paksa, polisi berhasil menahan sedikitnya  17 orang dari anggota SKP HAM Papua itu. Namun sayang, ditenggah aksi pembubaran paksa itu, justru ada wartawan yang menjadi korban dari aksi premanisme anggota polisi, saat wartawan hendak meliput atau mendokumentasikan aksi demo damai SKP HAM Papua itu.    
Salah satu wartawan yang menjadi korban dari aksi premanisme polisi itu yakni, Abraham You (Albert) yang seharinya-harinya menulis di majalahselangkah.com dan Koran/Tabloid Jujur Bicara (tabloidjubi.com) kepada SULUH PAPUA, Jumat (09/10/2015)  mengatakan, “Kronologis aksi kekerasan atau premanisme yang dilakukan oleh anggota polisi terhadap dirinya itu, bermula dari intimidasi yang berujung pada penondongan senjata dan perampasan kamera yang dilakukan anggota Kepolisian Resort Kota (Polresta) Jayapura, pada 8 Oktober 2015, sekitar pukul 14.40 Wit sore, di depan Gereja Katolik Gembala Baik Abepura, Jayapura, Papua, kemarin lalu.”.
Albert melanjutkan, “Sebelumnya, pada tanggal 7 Oktober 2015, sekitar pukul 19.23 Wit, saya mendapatkan kiriman pesan singkat (via handphone) dari Penehas Lokbere (Koordinator Umum SKP-HAM Papua) terkait aksi demo damai yang akan digelar pada tanggal 8 Oktober 2015 siang, bunyinya:

“Kepada Yth, Wartawan & wartawati di tempat! Kami SKP HAM Papua mengundang, untuk meliput berita, pada besok Kamis, 8 Oktober 2015. Pukul 13:00 Wip, sesuaikan degan waktunya teman-teman Biara dan Prater. Degan titik kumpul depan Merpati Abepura. Tujuan aksi ke Komnas Perwakilan Papua dan lanjut ke DPR-Papua. Demikian atas kerjasamanya diucapkan trima kasih. Peneas Lokbere, Kordinator umum SKP HAM Papua”.
“Pesan ini saya anggap sebagai undangan meliput aksi bagi wartawan di Kota Jayapura, karena itu saya melanjutkan pesan ini kepada sekitar 15 wartawan lainnya di dalam grup BlackBerry Messenger (BBM), dan turut mendapatkan respon positif, beberapa lagi menyatakan kesediaan untuk datang meliput aksi yang akan di gelar Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (SKP HAM) Papua ini”. “katanya”.

Keesokan harinya, Kamis (08 Oktober 2015) sekitar pukul 13.15 Wit, saya tiba di depan pertokoan Merpati, tepat di depan Gereja Katolik Gembala Baik Abepura (tempat dilangsungkannya aksi), sesuai undangan meliput yang disebarkan koordinator aksi kepada wartawan. Saya memarkir kendaraan roda dua saya tidak jauh dari tempat massa aksi berkumpul, atau tepatnya di depan Kantor LSM PTPMA Jayapura”.

Saat saya tiba di tempat aksi, puluhan massa aksi dari kalangan aktivisi, mahasiswa, pemuda, dan aktivis gereja sudah berkumpul lebih dulu, dan sedang melanjutkan orasi-orasi kecaman kepada negara karena tidak mampu menuntaskan penembakan empat siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) hingga meninggal dunia di Lapangan Karel Gobay, Enarotali, Paniai, Papua, pada 8 Desember 2014 lalu.”.

Saya juga melihat salah satu massa aksi berdiri di dekat jalan raya, dan terus memberikan selebaran aksi dan tuntutasan SKP-HAM Papua kepada warga kota Jayapura yang lalu lalang menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Karena saat itu belum ada wartawan yang tiba di tempat aksi, sayapun mengeluarkan kamera Canon EOS 1100D milik saya dari dalam tas, dan menggantung Kartu Pers di saku baju sebelah kiri, dan dari arah jalan raya, saya terus memotret ke arah massa aksi yang sudah mulai terus berorasi dengan posisi berbaris memanjang ke arah jalan raya, dengan memegang tiga baliho/spanduk besar dan belasan poster kecil.

Saat itu saya lihat ada sekitar 25 orang massa aksi yang telah lebih hadir. Saya mengambil beberapa foto dan video dari beberapa arah, samping kanan/kiri dan dari depan jalan raya. Setelah mengambil foto, saya menemui Koordinator SKP-HAM Papua/Koordinator Aksi, Penehas Lokbere dan meminta siaran pers atau tuntutan yang akan dikeluarkan SKP-HAM Papua, termasuk kepastian demo damai ke Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Kantor Komnas HAM Perwakilan Papua seperti yang disampaikan di dalam undangan kepada awak media.

Penehas kemudian memberikan satu buah pernyataan sikap massa aksi, dan mengatakan rute aksi seperti yang telah disampaikan melalui pesan singkat, yakni dari depan Gereja Katolik Gembala Baik Abepura akan menuju ke kantor DPRP dan kantor Komnas HAM Perwakilan Papua akan tetap dilakukan namun masih perlu komunikasi dengan aparat keamanan yang akan mengamankan jalannya aksi.

Saat sedang berbincang dengan Penehas, saya juga melihat belasan aparat Kepolisian Resort Kota Jayapura dari Unit Intelijen berdiri dan memotret dari arah depan massa aksi, tepat di depan pintu keluar/masuk Kantor Pos Abepura. Tidak lama kemudian, bergabung Julian Howay, jurnalis lepas di majalahselangkah.com dan Suara Papua (suarapapua.com), yang sebelumnya pernah bekerja untuk Surat Kabar Harian (SKH) Bintang Papua. Saya melihat Howay juga mengeluarkan kamera, dan terus memotret orasi-orasi yang dilangsungkan massa aksi.

Kemudian, sekitar 30 menit kemudian muncul lagi beberapa wartawan, seperti Oktovianus Pogau (dari suarapapua.com), Gamel (SKH Cenderawasih Pos), dan salah satu wartawan SKH Suluh Papua yang tidak saya ingat namanya. Tampak juga Benny Mawel, wartawan Tabloid Jubi, dan beberapa wartawan lainnya yang tidak saya lihat keberadaannya. Saat itu massa aksi belum bergerak atau menuju ke Kantor DPR Papua karena Kapolsek Abepura, Kompol Marthen Asmuruf, sedang berbincang-bincang dengan Koordinator Aksi, dan penasehat hukum massa aksi dan beberapa perwakilan dari Keusukupan Jayapura, karena Polisi tidak mengijinkan massa aksi untuk melanjutkan aksi dengan alasan belum mengantongi ijin dari Polisi.

Saat negosiasi sedang dilakukan, saya lihat beberapa frater atau biarawan dari Keuskupan Jayapura yang sedang mengenyam studi di Sekolah Tinggi Filsafat Theologia (STFT) Abepura, Jayapura, juga datang dengan satu buah mobil, dengan menggenakan jubah imam berwarna coklat, bergabung bersama massa aksi dan malahan beberapa imam justru mengambil tempat paling depan, dan ikut memegang poster-poster kecaman terhadap negara tadi.

Melihat beberapa imam ikut bergabung dalam aksi ini, saya juga kembali mengambil beberapa foto, beberapa wartawan juga terus mengambil foto, dan orasi-orasi terus dilanjutkan, disamping itu negosiasi dengan Kapolsek Abepura, dan kalau tidak salah satu pimpinan unit intelijen dari Polresta Jayapura yang menggenakan baju warna putih, dan Kapolsek Abepura juga ikut melakukan negosiasi, dan dilakukan di sebelah kanan massa aksi.

Saat orasi-orasi sedang dilangsungkan secara bergantian, juga negosiasi dengan koordinator aksi sedang berlangsung dengan Kapolsek Abepura, tiba-tiba saya mendengar bunyi sirene sangat kuat dari arah Jayapura, atau tepat dari arah lingkaran Abepura, ternyata satu buah truck Polisi, melaju dengan sangat kencang, tanpa diskusi dan dialog, tiba-tiba beringas masuk ke dalam barisan massa, dan secara paksa membubarkan aksi tersebut. Saat itu saya berada di sebelah kanan massa aksi, dan siapkan kamera untuk mengambil foto jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. 

Beberapa teman-teman wartawan saya lihat diam saja di tempat, beberapa lagi berusaha mengeluarkan kamera untuk foto namun mendapatkan bentakan dari Polisi yang tiba menggunakan truck tadi, akhirnya mereka menghentikan niat untuk mengambil foto. Saya juga awalnya tidak memotret, karena lihat aksi brutal aparat yang semakin beringat dengan membubarkan, menendang, dan memukul massa aksi dan diangkut ke dalam truck, saya bergegas dan siap untuk mengambil foto.

Dari arah belakang truck Polisi, saya lihat beberapa imam/frater yang menggunakan jubah coklat tadi ikut diangkut ke dalam truck, dengan cara mencekik di leher para imam, lantas saya dengan cepat mengambil beberapa foto, tiba-tiba dari arah depan muncul tiga anggota Polisi dengan memegang senjata laras panjang, dan menodongkan senjata ke dada saya, dan satu orang lagi mencekik leher saya, dan membentak saya untuk menghapus seluruh isi foto tadi.

“Hapus semua foto itu! Tidak boleh foto sembarang!” teriak anggota Polisi, saya kemudian mengatakan kalau saya wartawan, tiba-tiba salah satu anggota Polisi langsung merampas kamera saya dengan kasar. Saat itu saya tunjukan kartu pers, dan saya katakan kalau saya wartawan, dan berusaha mengambil kamera yang telah berhasil di rebut tadi, namun dua orang anggota Polisi berusaha menghalangi saya agar tidak mengambil kamera, atau menjauhkan saya dari rekan mereka yang sedang berusaha menghapus seluruh isi foto tadi.

Saya lihat salah satu anggota Polisi yang merampas kamera saya tadi bernama Marlon. Saat itu saya juga mau diangkut ke dalam truck Polisi, karena bebera anggota Polisi berbaju preman telah mengerumini saya. Rekan wartawan Oktovianus Pogau dan penasehat hukum massa aksi, Olga Hamadi mendatangi/menghampiri Polisi yang menahan saya tadi, dan mengatakan kalau saya wartawan, dan meminta agar kamera dikembalikan, dan saya tidak diangkat ke dalam truck.

Aparat Polisi yang bernama Marlon tadi berusaha untuk terus menghapus seluruh isi foto, saat kamera saya masih ditahan, saya berusaha menghampiri Wakapolresta Jayapura, Kompol Albertus Adreana, dan menyatakan saya wartawan, dan saya sedang menjalankan tugas peliputan/jurnalistik.
“Saya ini wartawan, saya sudah tunjukan kartu pers, kenapa anak buah bapak bersikap begitu kepada saya, bapak lihat kamera saya masih diambil, dan semua foto sedang dihapus,” kata saya ketika menemui Wakapolresta Jayapura di tempat aksi, namun saat itu  Wakapolresta tidak berkomentar sama sekali, dan bahkan menghiraukan saya.

Kamera saya ditahan oleh anggota Polisi bernama Marlon tadi selama 7 menit, dan dikembalikan setelah menghapus seluruh isi foto. Saat anggota Polisi sedang menangkap, menggeledah, dan mengangkut massa aksi ke dalam truck, rekan wartawan Oktovianus Pogau yang tidak terima dengan perlakukan Polisi terhadap wartawan, saat itu juga langsung menelepon Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Papua, Inspektur Jenderal (Irjen) Pol, Paulus Waterpauw.

Saya mendengar Pogau berbicara dengan Waterpauw terkait anggota Polisi di lapangan yang tidak menghargai wartawan, dengan cara menodongkan senjata, merampas kamera, mencekik leher wartawan, dan menghapus seluruh isi foto, padahal kartu pers dan asal media tempat bekerja telah ditunjukan secara jelas; Sekitar satu menit berbicara dengan Waterpauw, Pogau minta orang nomor satu di Polda Papua itu langsung berbicara dengan Wakapolresta Jayapura yang saat itu bertindak sebagai komandan lapangan.

Waterpauw berbicara kepada Wakapolrestas sekitar lima menit lamanya menggunakan HP milik Pogau, dan kemudian sempat dari balik telepon Waterpauw sempat meminta Wakapolresta meminta maaf secara resmi kepada wartawan, dan agar mengusulkan kepada wartawan untuk membuat laporan Polisi ke Propam Polda Papua, agar laporan tersebut dapat ditindaklanjuti dengan memberikan sanksi/hukuman kepada Polisi yang menghalang-halangi kerja dari wartawan mengambil foto maupun video.

Sebelum menutup telepon, Wakapolresta mengembalikan telepon kepada Pogau, dan Waterpauw sempat mengatakan kepada Pogau, bahwa laporan Polisi kepada Propam Polda Papua harus segera dibuat, agar ada efek jera bagi anggota yang melakukan intimidasi, dan menghalangi kerja-kerja jurnalistik di lapangan.

Albert berharap,  “Berbagai organisasi pers yang ada di Jayapura seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Jayapura, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan Indonesia Journalist Network (IJN) dapat segera menindaklanjuti dengan cara mendesak aparat kepolisian untuk memberikan hukuman oknum anggota Polisi yang menghalangi, dan menganggu tugas-tugas jurnalistik. Saya berharap, teman-teman organisasi pers bisa mendampingi saya dalam membuat laporan Polisi kepada Propam Polda Papua terkait tindakan anggota Polisi yang tidak menghargai profesi jurnalis yang kita cintai bersama.

(RIC).    


Kamis, 08 Oktober 2015

“Hendak Meyuarakan Peduli Kemanusian, Demo Damai Dibubar Paksa Polisi”

Polisi, saat menaikan masa aksi SKP-HAM Papua di Truck.(Icahd/foto)
Jayapura (SP)- Puluhan pemuda peduli kemanusian yang hendak menyuarakan aspirasi mereka lewat demo damai. Tetapi hal itu, tidak terwujud lantaran dibubarkan paksa oleh pihak Kepolisian dari Polresta Jayapura. Pantuan SULUH PAPUA, Kamis (08/10/2015) di Abepura.  

Sekedar diketahui, “Massa demo damai tersebut, gabungan dari perguruan tinggi yang ada di Kota Jayapura serta gabungan seluruh organisasi kepemudaan yang peduli soal HAM di ibukota provinsi Papua.

“Tuntutan mereka soal kasus paniai berdarah yang sampai sekarang tenggelam, juga kasus di Timika, Yahukimo, sekaligus mendorong adanya ruang demokrasi yang ditutup, untuk segera dibuka, itu yang membuat mereka menyuarakannya”.  

“Dari Puluhan pemuda yang tergabung dalam Solidaritas Korban Pelanggaran (SKP) HAM Papua, saat melakukan aksi di Jln.Raya Abepura-Sentani, tepatnya di depan Kantor POS Abepura, Kota Jayapura. Lansung dibubarkan pakasa oleh polisi, dan dari hasil pembubaran paksa itu, Polisi berhasil menahan sedikitnya  17 orang.   

Salah satu anggota dari Solidaritas Korban Pelanggaran (SKP) HAM Papua, Sam kepada wartawan mengatakan, “Kami tidak demo di Abepura, pusat demo kami di halaman kantor Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Provinsi Papua”.
Lanjutnya, “Sebelum kami dibubarkan paksa oleh pihak Polresta Jayapura, kami sedang bernegosiasi dengan pihak Polsek Abepura, dalam hal ini Kapolsek Abepura,…..?, Namun mengapa tiba-tiba datang dua truk polisi dengan kecepatan tinggi, masuk ditengga-tenggah masa langsung membubarkan aksi kami. Melihat masa yang lari berhamburan, lansung dikejar oleh polisi serta dipukul saat dinaikkan kedalam truk tahanan polisi,” . 
Disingung terkait apakah sudah membuat laporan atau surat ijin aksi demo, Sam menuturkan, “Kami sudah menyurati kepada polisi terkait ijin khalayak ramai sejak tiga hari lalu, untuk aksi kami ini”. Namun, sampai hari ini (kemarin), kami tidak menerima surat balasan dari kami itu.

“Ini buka cara baru, karena ini bagian dari cara polisi untuk mengurangi  aktifis HAM yang ingin lakukan aksi dijalan. Ketika polisi pasti alasannya itu tidak ada surat ijin. Sepertinya itu pola untuk mengurangi aksi HAM di Papua dimuka umum,” “katanya”.

Sementara itu, “Wakapolres Jayapura Kota, Kompol.Albertus Andreana yang memimpin proses pembubaran itu, saat memberikan pemahaman kepada massa aksi di ruang rapat Polsek Abepura. Sekaligus, juga meminta maaf atas perlakuan anak buahnya”.



 “Kami hanya manusia biasa, ini hanya masalah miss komunikasi, memang ada surat masuk tapi tidak menyertakan jumlah massa yang akan turun, waktu dan tempat,” kata Wakapolresta saat berikan pemahaman kepada puluhan massa di ruang pertemuan tersebut”.”kata Wakapolres”.

(RIC).  


Rabu, 07 Oktober 2015

“Papua Terbuka Bagi Jurnalis Asing, Tetapi Mematuhi Aturan Dalam NKRI”


Peserta Antusian, saat mendengar materi.(Icahd/foto)

Jayapura (SP)- Seminar keterbukaan bagi jurnalis asing di Papua yang diselengarakan oleh Indonesian Journalist Network (IJN) atau Jaringan Jurnalis Indonesia Papua dan Papua Barat, Senin (06/10/2015) itu. Ternyata menghasilakan sebuah pemahaman bersama antara pihak keamanan, akademisi, politisi dan aktivis Papua.

Demikian disampaikan oleh Ketua Panitia Jefry Patirajawane kepada SULUH PAPUA, Selasa (07/10/2015) di Abepura.

Sekedar diketahui seminar dengan mengambil tema, “keterbukaan bagi jurnalis asing di papua” itu, setelah pada 10 Mei 2015 di Kota Rusa, Merauke. Presiden RI Joko Widodo telah mengisinkan atau secara resmi membuka akses bagi jurnalis dari Negara mana pun. Untuk datang dan meliput di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di Papua dan Papua Barat. Dan keputusan itu harus dijalankan. “Jelas Jefri”.

Sedangkan untuk pematerinya sangat berkompeten yakni, “Kapolda Papua IRJEN POL. Drs.Paulus Waterpauw dengan materi “Prosedur Liputan Jurnalis Asing Di  Papua”.
Dr.La Madi Delamato (Juru Bicara Gubernur Papua) dengan materi “Pentingnya Perimbangan Berita Tentang Papua”.
Arkilaus Baho (Aktivis Papua) dengan “Pers Harus Independen Bagi Masyarakat Di Papua”.
 Pangdam XVII Cenderawasih MAYJEN.TNI. Hinsa Siburian dengan materi  “Dampak Pemberlakuan Papua Bagi Jurnalis Asing”.
Jimmy Demianus Ijie (Politisi Papua) dengan materi  “Keterbukaan Pers Untuk Kedamaian Papua”.
Dr.Nahria, M.Si (Akademisi STIKOM) degan materi “Pentingnya Fakta Pemberitaan Di Papua”.   
Masuk pada agenda sesi, tanya jawab muncul beragam saran atau usul dan pertanyaan bagi para nara sumber, salah satunya, dari koresponden The Jakarta Post Netty Dharma Somba yang mengklaim bahwa wartawan di Papua telah menulis berbagai peristiwa yang terjadi di Papua.

    "Hanya saja, layak atau tidak layaknya suatu berita itu untuk muat di media, adalah kebijakan dari para pemiliknya yang berpusat di Jakarta. Kami, sebagai wartawan tetap menulis sesuai dengan kaidah jurnalistik," katanya.

    Sementara, Peter Tukan, pemerhati masalah Papua mengaku sepakat bahwa pihak keamanan harus mengawasi para jurnalis asing yang masuk ke Papua agar mendapat perlindungan dan pengawasan jangan sampai mendapat persoalan saat melakukan kegiatan jurnalistiknya.

    "Saya setuju jika aparat tetap mengawasi para jurnalis asing saat meliputi di Papua, salah satu alasannya guna menjaga keamanan mereka. Karena mereka datang ke sini dengan ideologi atau pemahaman yang beda dengan kita di Indonesia, mereka individual, kita disini masih komunal, berkelompok," katanya.

    "Lalu, para jurnalis asing juga masuk ke sini, mencarI nara sumber yang berbeda atau tidak biasanya, nah ini saya kira perlu diawasi. Harapannya mereka bisa masuk ke Papua tetap dengan aturan, karena kita juga kalau keluar negeri tetapu ikuti aturan negara mereka," katanya.

    Dalam seminar yang berlangsung selama lima jam itu, juga dihadiri oleh Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol Patrige, Kapendam XVII/Cenderawasih Kolonel Inf Teguh PR, Dir Intelkam Polda Papua Jacobus Marzuki, Kabinda dan Kabais Papua.

    Aktivis LSM dan lingkungan, akademisi, wakil mahasiswa di Jayapura, dan puluhan wartawan lokal baik cetak dan online serta wartawan/kontributor nasional.
    Diakhir seminar, moderator yang dipandu oleh mantan wartawan senior Amir Hamzah Siregar mangatakan,  “Bahwa wartawan asing bisa masuk ke Papua sesuai dengan pernyataan Presiden Joko Widodo, asalkan mematuhi aturan yang berlaku dalam suatu negara.Pungkasnya.

(RIC). 


Polres Jayapura, Berhasil Meringkus Pengedar 556 Gram Ganja


Kapolres Jayapura AKBP.Sondang Siagian.(Icahd/foto).
Sentani (SP)- Polres Jayapura berhasil merengkus satu orang pengedar berisial TO bersama satu orang penguna berinisial TF yang mengedar serta mengunakan barang larangan berupa narkotika jenis ganja, seberat 556 gram. 

Penangkapan terhadap kedua tersangka itu, setelah kami mendapat informasi dari masyarakat, sehingga melalui tim khusus satuan narkotika Polres Jayapura kedua tersangka itu lansung ditangkap.

Demikian disampaikan, Kapolres Jayapura AKBP.Sondang Siagian, Rabu (07/10/2015) di Sentani, Kabupaten Jayapura. 

Kapolres Jayapura AKBP.Sondang Siagian kepada wartawan mengatakan, “Berlanjut dari proses penangkapan hingga penahanan. Tentunya kami mengelar barang bukti dari hasil penangkapan itu yakni, berupa puluhan bungkus ganja seberat 556 gram yang sudah dibagi menjadi 21 bungkus plastik bening dengan harga satu juta rupiah/persatu bungkus”. 

Disingung terkait barang bukti berupa ganja itu dipasok dari mana, Kapolres menuturkan, “Barang haram berupa ganja itu di dapat dari negara tetangga PNG melalui kurir di wilayah Kota Jayapura.   

Kedua tersangka dijerat dengan undang undang narkotika yang memungkinkan diantara keduanya bakal diancam kurungan penjara seumur hidup hingga hukuman mati atau rehabilitasi.Pungkasnya.   

(RIC).


                                                             










Jubir Gubernur: Wartawan Jangan Hanya Disatu Pos Liputan Saja

Jubir Gubernur Papua Dr.La Madi Delamato.(Icahd/foto).  
Jayapura (SP)- Juru bicara Gubernur Papua Dr.La Madi Delamato yang mendapatkan kesempatan sebagai narasumber dalam seminar keterbukaan bagi jurnalis asing di Papua yang dilakukan oleh Indonesia Journalis Network (IJN) dengan materi “Pentingnya Perimbangan Berita Tentang Papua”, Senin (06/10/2015) mengatakan, “ Semestinya perusahan pers di Papua harus jeli dalam melihat, serta menugaskan wartawannya dalam suatu pos liputan.  

Mengapa, karena ini berkaitan dengan pos liputan bagi wartawan itu sendiri, ketika semakin lama wartawan di satu pos liputan itu. Tentunya, akan mengangu ketajaman isting jurnalismenya. “jelas jubir ini”.  

Seharusnya wartawan yang sudah lama dari satu pos itu diganti dengan wartawan lainnya dari perusahan pers itu sendiri. “tegasnya”.

Sehingga “Jangan hanya pada satu tempat saja, perlu ada regenerasi atau pergantian lokasi pos liputan, ini demi menambah keilmuan bagi wartawannya itu sendiri, juga mendapat pengalaman baru dengan mitra-mita strategis yang lain di Papua.Pungkasnya.

(RIC).  

 


Senin, 05 Oktober 2015

Hari Ini, Ketua Umum IJN Kukuhkan Pengurus Lokal IJN Papua-Papua Barat

Ketua IJN Papua-Papua Barat, Roberth I.V.Subiyat.(Icahd/foto)

Jayapura (SP)- Badan pengurus Indonesian Journalist Network (IJN) atau jaringan jurnalis Indonesia Papua-Papua Barat, hari ini, Selasa (06/10/2015) bakal dikukuhkan oleh Ketua Umum INJ Pusat, Yaya Suryadarma di Kota Jayapura.  

Demikian disampaikan oleh Ketua panitia pelantikan pengurus IJN Papua-Papua Barat, Jefry Patirajawane, Senin (05/10/2015).

Jefry Patirajawane kepada wartawan mengatakan, “Pelantikan atau pengukuhan ini dilakukan oleh DPP IJN pusat, setelah saudara, Roberth Isidorus Vanwy Subiyat terpilih dan dipercayakan untuk memimpin  IJN Papua-Papua Barat, beberapa waktu lalu.  
Sekedar diketahui, “Bahwa sebelumnya IJN menggunakan nama PWI Reformasi, namun dalam perjalanannya mengalami berbagai perubahan sehingga diputuskan untuk berganti nama.“tambahnya”.    
     
Jefry melanjutkan, “Pelantikan ini, untuk meyakinkan bahwa organisasi pers yakni IJN Papua dan Papua Barat resmi ada dan beraktifitas di daerah ini”.
Namun kehadirian IJN di Papua dan Papua Barat bukan untuk sebagai saingan, tapi untuk bersinergi dengan pemerintah dan organisasi pers lainnya yang terlebih dahulu ada”. “katanya lagi”.   

    Setelah acara pengukuhan pengurus IJN Papua dan Papua Barat, dilanjutkan dengan kegiatan seminar dengan judul diskusi, “Keterbukaan Papua Bagi Jurnalis Asing”. Seminar ini juga, bakal menghadirkan pemeteri-pemateri yang berkompeten, baik pihak keamanan, pemerhati pers dan akademisi Papua. ". “jelas Jefri”.  

Ini merupakan seminar kedua, yang IJN Papua dan Papua Barat. Intinya, seminar itu ingin memberikan pemahaman yang baik dan benar tentang kemajuan pembangunan diberbagai bidang oleh pemerintah di Papua dan Papua Barat,".Pungkasnya.

(RIC).   


Minggu, 04 Oktober 2015

Menyikapi Keterbukaan Bagi Jurnalis Asing, Jurnalis Papua, Gelar Seminar

Ketua IJN Papua-Papua Barat, Roberth IVanwy.Icahd/foto). 
Jayapura (SP)- Jurnalis Papua yang tergabung dalam Indonesia Journalist Network (IJN) atau jaringan jurnalis Indonesia Papua-Papua Barat. Mengelar seminar sehari yang direncanakan pada, Selasa 06 September 2015.

Seminar ini untuk menyikapi keterbukaan bagi jurnalis asing untuk melakukan aktifitas liputan di Papua.

Demikian disampaikan oleh Ketua IJN Papua-Papua Barat, Roberth Isidorus Vanwy Subiyat, Minggu (04/10/2015) di Abepura.   

 Ketua IJN Papua-Papua Barat, Roberth Isidorus Vanwy Subiyat, kepada wartawan menuturkan, “Seminar yang kami gelar ini, mengingat pada 10 Mei 2015 di Kota Rusa, Merauke. Presiden RI Joko Widodo telah mengisinkan atau secara resmi membuka akses bagi jurnalis dari Negara mana pun. Untuk datang dan meliput di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di Papua dan Papua Barat. Dan keputusan itu harus dijalankan.

Setelah keputusan Presiden RI Joko Widodo itu, membuat berdepatan dikalangan luas tentang nilai negativ dan nilai positif dari jurnalis asing ketika meliput di Papua. “kata Vanwy.

Vanwy mencotohkan, “Seperti pendapat dari analis intelejen Indonesia, Ridwan Habid yang mengatakan, “Bahwa pemberian ruang bagi pers asing untuk meliput di Papua merupakan hal positif.

Namun dengan membiarkan media asing bebas meliput di Papua. Tentunya punya tantangan tersindiri. Baik berupa tuntutan perluasan otonomi khusus oleh aktivis local, maupun kelompok separatis yang menghendaki Papua merdeka.

Selain itu Anggota Komisi 1 DPR RI, Rachel Maryam Sayidina mengatakan, “Pemerintah agar memperkuat kontra intelijen di Papua, guna mengantisipasi dibukanya keran bagi pers asing untuk mengases Papua secara lansung.

   Keterbukaan pers asing di Papua sebenarnya akan memberikan tambahan citra positif. Karena banyak kemajuan pembangunan yang sudah dicapai. Hanya, risiko pemberitaan negativ pers asing tentang kebijakan pemerintah di Papua, justru berpotensi memicu persoalan baru.

Dari semua perdebatan dan pendapat itu, membuat kami selaku pekerja pers di Papua, merasa terpangil untuk membuat seminar keterbukaan Papua bagi jurnalis asing. Untuk memberikan pemahaman bersama di kalangan jurnalis maupun stekholder lainnya yang berkaitan dengan isu Papua mengenai batasan, ketrebukaan, serta rambu-rambu yang perlu diketahui.

Sehingga implementasi dari “keterbukaan” yang tersirat maupun tersurat dalam peryataan Presiden Jokowi dapat berkontribusi positiv bagi kedamaian, keadilan dan kesejahteraan masyarakat Papua.Pungkasnya.

(RIC).


   
       
  
         

     



Dana Otsus Jadi Sumber Pembiayaan Utama APBD Provinsi Papua! Sementara Sumber PAD Dibawah Rata-rata Nasional

Jayapura |Selama periode tahun 2002 sampai dengan tahun 2020, dana Otonomi Khusus (Otsus) telah menjadi sumber pembiayaan utama dalam APBD P...