![]() |
Kebebasan Pers.(Icahd/foto). |
Jayapura
(SP)- Pasca pembubaran paksa oleh polisi terhadap puluhan pemuda/mahasiswa
peduli kemanusian yang tergabung dalam Solidaritas Korban Pelanggaran (SKP) HAM
Papua, Kamis (08/10/2015) di depan ruas jalan Kantor POS Abepura, Kota Jayapura.
Selain
dibubarkan paksa, polisi berhasil menahan sedikitnya 17 orang dari anggota SKP HAM Papua itu. Namun
sayang, ditenggah aksi pembubaran paksa itu, justru ada wartawan yang menjadi korban
dari aksi premanisme anggota polisi, saat wartawan hendak meliput atau mendokumentasikan
aksi demo damai SKP HAM Papua itu.
Salah
satu wartawan yang menjadi korban dari aksi premanisme polisi itu yakni, Abraham
You (Albert) yang seharinya-harinya menulis di majalahselangkah.com dan
Koran/Tabloid Jujur Bicara (tabloidjubi.com) kepada SULUH PAPUA, Jumat
(09/10/2015) mengatakan, “Kronologis
aksi kekerasan atau premanisme yang dilakukan oleh anggota polisi terhadap
dirinya itu, bermula dari intimidasi yang berujung pada penondongan senjata dan
perampasan kamera yang dilakukan anggota Kepolisian Resort Kota (Polresta)
Jayapura, pada 8 Oktober 2015, sekitar pukul 14.40 Wit sore, di depan Gereja
Katolik Gembala Baik Abepura, Jayapura, Papua, kemarin lalu.”.
Albert
melanjutkan, “Sebelumnya, pada tanggal 7 Oktober 2015, sekitar pukul 19.23 Wit,
saya mendapatkan kiriman pesan singkat (via handphone) dari Penehas Lokbere
(Koordinator Umum SKP-HAM Papua) terkait aksi demo damai yang akan digelar pada
tanggal 8 Oktober 2015 siang, bunyinya:
“Kepada
Yth, Wartawan & wartawati di tempat! Kami SKP HAM Papua mengundang, untuk
meliput berita, pada besok Kamis, 8 Oktober 2015. Pukul 13:00 Wip, sesuaikan degan
waktunya teman-teman Biara dan Prater. Degan titik kumpul depan Merpati
Abepura. Tujuan aksi ke Komnas Perwakilan Papua dan lanjut ke DPR-Papua.
Demikian atas kerjasamanya diucapkan trima kasih. Peneas Lokbere, Kordinator
umum SKP HAM Papua”.
“Pesan
ini saya anggap sebagai undangan meliput aksi bagi wartawan di Kota Jayapura,
karena itu saya melanjutkan pesan ini kepada sekitar 15 wartawan lainnya di
dalam grup BlackBerry Messenger (BBM), dan turut mendapatkan respon positif,
beberapa lagi menyatakan kesediaan untuk datang meliput aksi yang akan di gelar
Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (SKP HAM) Papua ini”. “katanya”.
Keesokan
harinya, Kamis (08 Oktober 2015) sekitar pukul 13.15 Wit, saya tiba di depan
pertokoan Merpati, tepat di depan Gereja Katolik Gembala Baik Abepura (tempat
dilangsungkannya aksi), sesuai undangan meliput yang disebarkan koordinator
aksi kepada wartawan. Saya memarkir kendaraan roda dua saya tidak jauh dari
tempat massa aksi berkumpul, atau tepatnya di depan Kantor LSM PTPMA Jayapura”.
Saat
saya tiba di tempat aksi, puluhan massa aksi dari kalangan aktivisi, mahasiswa,
pemuda, dan aktivis gereja sudah berkumpul lebih dulu, dan sedang melanjutkan
orasi-orasi kecaman kepada negara karena tidak mampu menuntaskan penembakan
empat siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) hingga meninggal dunia di Lapangan
Karel Gobay, Enarotali, Paniai, Papua, pada 8 Desember 2014 lalu.”.
Saya
juga melihat salah satu massa aksi berdiri di dekat jalan raya, dan terus
memberikan selebaran aksi dan tuntutasan SKP-HAM Papua kepada warga kota
Jayapura yang lalu lalang menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat.
Karena saat itu belum ada wartawan yang tiba di tempat aksi, sayapun
mengeluarkan kamera Canon EOS 1100D milik saya dari dalam tas, dan menggantung
Kartu Pers di saku baju sebelah kiri, dan dari arah jalan raya, saya terus
memotret ke arah massa aksi yang sudah mulai terus berorasi dengan posisi
berbaris memanjang ke arah jalan raya, dengan memegang tiga baliho/spanduk
besar dan belasan poster kecil.
Saat
itu saya lihat ada sekitar 25 orang massa aksi yang telah lebih hadir. Saya
mengambil beberapa foto dan video dari beberapa arah, samping kanan/kiri dan
dari depan jalan raya. Setelah mengambil foto, saya menemui Koordinator SKP-HAM
Papua/Koordinator Aksi, Penehas Lokbere dan meminta siaran pers atau tuntutan
yang akan dikeluarkan SKP-HAM Papua, termasuk kepastian demo damai ke Kantor
Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Kantor Komnas HAM Perwakilan Papua
seperti yang disampaikan di dalam undangan kepada awak media.
Penehas
kemudian memberikan satu buah pernyataan sikap massa aksi, dan mengatakan rute
aksi seperti yang telah disampaikan melalui pesan singkat, yakni dari depan
Gereja Katolik Gembala Baik Abepura akan menuju ke kantor DPRP dan kantor
Komnas HAM Perwakilan Papua akan tetap dilakukan namun masih perlu komunikasi
dengan aparat keamanan yang akan mengamankan jalannya aksi.
Saat
sedang berbincang dengan Penehas, saya juga melihat belasan aparat Kepolisian
Resort Kota Jayapura dari Unit Intelijen berdiri dan memotret dari arah depan
massa aksi, tepat di depan pintu keluar/masuk Kantor Pos Abepura. Tidak lama
kemudian, bergabung Julian Howay, jurnalis lepas di majalahselangkah.com dan
Suara Papua (suarapapua.com), yang sebelumnya pernah bekerja untuk Surat Kabar
Harian (SKH) Bintang Papua. Saya melihat Howay juga mengeluarkan kamera, dan
terus memotret orasi-orasi yang dilangsungkan massa aksi.
Kemudian,
sekitar 30 menit kemudian muncul lagi beberapa wartawan, seperti Oktovianus
Pogau (dari suarapapua.com), Gamel (SKH Cenderawasih Pos), dan salah satu
wartawan SKH Suluh Papua yang tidak saya ingat namanya. Tampak juga Benny
Mawel, wartawan Tabloid Jubi, dan beberapa wartawan lainnya yang tidak saya
lihat keberadaannya. Saat itu massa aksi belum bergerak atau menuju ke Kantor
DPR Papua karena Kapolsek Abepura, Kompol Marthen Asmuruf, sedang berbincang-bincang
dengan Koordinator Aksi, dan penasehat hukum massa aksi dan beberapa perwakilan
dari Keusukupan Jayapura, karena Polisi tidak mengijinkan massa aksi untuk
melanjutkan aksi dengan alasan belum mengantongi ijin dari Polisi.
Saat
negosiasi sedang dilakukan, saya lihat beberapa frater atau biarawan dari
Keuskupan Jayapura yang sedang mengenyam studi di Sekolah Tinggi Filsafat
Theologia (STFT) Abepura, Jayapura, juga datang dengan satu buah mobil, dengan
menggenakan jubah imam berwarna coklat, bergabung bersama massa aksi dan
malahan beberapa imam justru mengambil tempat paling depan, dan ikut memegang
poster-poster kecaman terhadap negara tadi.
Melihat
beberapa imam ikut bergabung dalam aksi ini, saya juga kembali mengambil beberapa
foto, beberapa wartawan juga terus mengambil foto, dan orasi-orasi terus
dilanjutkan, disamping itu negosiasi dengan Kapolsek Abepura, dan kalau tidak
salah satu pimpinan unit intelijen dari Polresta Jayapura yang menggenakan baju
warna putih, dan Kapolsek Abepura juga ikut melakukan negosiasi, dan dilakukan
di sebelah kanan massa aksi.
Saat
orasi-orasi sedang dilangsungkan secara bergantian, juga negosiasi dengan
koordinator aksi sedang berlangsung dengan Kapolsek Abepura, tiba-tiba saya
mendengar bunyi sirene sangat kuat dari arah Jayapura, atau tepat dari arah
lingkaran Abepura, ternyata satu buah truck Polisi, melaju dengan sangat
kencang, tanpa diskusi dan dialog, tiba-tiba beringas masuk ke dalam barisan
massa, dan secara paksa membubarkan aksi tersebut. Saat itu saya berada di
sebelah kanan massa aksi, dan siapkan kamera untuk mengambil foto jika terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan.
Beberapa
teman-teman wartawan saya lihat diam saja di tempat, beberapa lagi berusaha
mengeluarkan kamera untuk foto namun mendapatkan bentakan dari Polisi yang tiba
menggunakan truck tadi, akhirnya mereka menghentikan niat untuk mengambil foto.
Saya juga awalnya tidak memotret, karena lihat aksi brutal aparat yang semakin
beringat dengan membubarkan, menendang, dan memukul massa aksi dan diangkut ke
dalam truck, saya bergegas dan siap untuk mengambil foto.
Dari
arah belakang truck Polisi, saya lihat beberapa imam/frater yang menggunakan
jubah coklat tadi ikut diangkut ke dalam truck, dengan cara mencekik di leher
para imam, lantas saya dengan cepat mengambil beberapa foto, tiba-tiba dari
arah depan muncul tiga anggota Polisi dengan memegang senjata laras panjang,
dan menodongkan senjata ke dada saya, dan satu orang lagi mencekik leher saya,
dan membentak saya untuk menghapus seluruh isi foto tadi.
“Hapus
semua foto itu! Tidak boleh foto sembarang!” teriak anggota Polisi, saya
kemudian mengatakan kalau saya wartawan, tiba-tiba salah satu anggota Polisi
langsung merampas kamera saya dengan kasar. Saat itu saya tunjukan kartu pers,
dan saya katakan kalau saya wartawan, dan berusaha mengambil kamera yang telah
berhasil di rebut tadi, namun dua orang anggota Polisi berusaha menghalangi
saya agar tidak mengambil kamera, atau menjauhkan saya dari rekan mereka yang
sedang berusaha menghapus seluruh isi foto tadi.
Saya
lihat salah satu anggota Polisi yang merampas kamera saya tadi bernama Marlon.
Saat itu saya juga mau diangkut ke dalam truck Polisi, karena bebera anggota
Polisi berbaju preman telah mengerumini saya. Rekan wartawan Oktovianus Pogau
dan penasehat hukum massa aksi, Olga Hamadi mendatangi/menghampiri Polisi yang
menahan saya tadi, dan mengatakan kalau saya wartawan, dan meminta agar kamera
dikembalikan, dan saya tidak diangkat ke dalam truck.
Aparat
Polisi yang bernama Marlon tadi berusaha untuk terus menghapus seluruh isi
foto, saat kamera saya masih ditahan, saya berusaha menghampiri Wakapolresta
Jayapura, Kompol Albertus Adreana, dan menyatakan saya wartawan, dan saya
sedang menjalankan tugas peliputan/jurnalistik.
“Saya
ini wartawan, saya sudah tunjukan kartu pers, kenapa anak buah bapak bersikap
begitu kepada saya, bapak lihat kamera saya masih diambil, dan semua foto
sedang dihapus,” kata saya ketika menemui Wakapolresta Jayapura di tempat aksi,
namun saat itu Wakapolresta tidak
berkomentar sama sekali, dan bahkan menghiraukan saya.
Kamera
saya ditahan oleh anggota Polisi bernama Marlon tadi selama 7 menit, dan
dikembalikan setelah menghapus seluruh isi foto. Saat anggota Polisi sedang
menangkap, menggeledah, dan mengangkut massa aksi ke dalam truck, rekan
wartawan Oktovianus Pogau yang tidak terima dengan perlakukan Polisi terhadap
wartawan, saat itu juga langsung menelepon Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda)
Papua, Inspektur Jenderal (Irjen) Pol, Paulus Waterpauw.
Saya
mendengar Pogau berbicara dengan Waterpauw terkait anggota Polisi di lapangan
yang tidak menghargai wartawan, dengan cara menodongkan senjata, merampas
kamera, mencekik leher wartawan, dan menghapus seluruh isi foto, padahal kartu
pers dan asal media tempat bekerja telah ditunjukan secara jelas; Sekitar satu
menit berbicara dengan Waterpauw, Pogau minta orang nomor satu di Polda Papua
itu langsung berbicara dengan Wakapolresta Jayapura yang saat itu bertindak
sebagai komandan lapangan.
Waterpauw
berbicara kepada Wakapolrestas sekitar lima menit lamanya menggunakan HP milik
Pogau, dan kemudian sempat dari balik telepon Waterpauw sempat meminta
Wakapolresta meminta maaf secara resmi kepada wartawan, dan agar mengusulkan
kepada wartawan untuk membuat laporan Polisi ke Propam Polda Papua, agar
laporan tersebut dapat ditindaklanjuti dengan memberikan sanksi/hukuman kepada
Polisi yang menghalang-halangi kerja dari wartawan mengambil foto maupun video.
Sebelum
menutup telepon, Wakapolresta mengembalikan telepon kepada Pogau, dan Waterpauw
sempat mengatakan kepada Pogau, bahwa laporan Polisi kepada Propam Polda Papua
harus segera dibuat, agar ada efek jera bagi anggota yang melakukan intimidasi,
dan menghalangi kerja-kerja jurnalistik di lapangan.
Albert
berharap, “Berbagai organisasi pers yang
ada di Jayapura seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Jayapura,
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI),
dan Indonesia Journalist Network (IJN) dapat segera menindaklanjuti dengan cara
mendesak aparat kepolisian untuk memberikan hukuman oknum anggota Polisi yang
menghalangi, dan menganggu tugas-tugas jurnalistik. Saya berharap, teman-teman
organisasi pers bisa mendampingi saya dalam membuat laporan Polisi kepada
Propam Polda Papua terkait tindakan anggota Polisi yang tidak menghargai
profesi jurnalis yang kita cintai bersama.
(RIC).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar