Senin, 26 Oktober 2015

Sekum Persipura: MENPORA Cabut Pembekuan PSSI, Baru Persipura Ikut Piala Sudirman

Team Kebangaan Papua, Mutiara Hitam, Persipura Jayapura.(Icahd/foto).  
Jayapura (SP)- Ketika Menpora Imam Nachrawi menginginkan agar tim yang berjuluk Mutiara Hitam persipura jayapura agar dapat berpartisipasi pada turnamen Piala Sudirman pada November mendatang. Semestinya, Menpora Imam Nacharawi lebih dulu mencabut pembekuan PSSI. Serta mengupayakan pencabutan sanksi FIFA, baru kita bisa bicara kompetisi.

Demikian disampaikan oleh Sekretaris umum (Sekum) Persipura Jayapura, Rocky Bebena, Senin (26/10/2015).  

Sekum Persipura Jayapura, Rocky Bebena kepada wartawan mengatakan, “Tidak usah bilang turnamen atau kompetisi tetapi sekarang pastikan dulu kapan sanksi itu dicabut, baik  oleh Menpora pembekuan PSSI dan FIFA,".
 
     “Persipura Jayapura tidak bisa ikut ambil bagian dalam kompetisi tersebut jika sanksi yang ada belum dicabut atau selesai, karena muara dari suatu kompetisi harus jelas, sehingga pemain-pemain dan klub punya pencapaian prestasi yang berjenjang. “Kata Mantan wartawan itu”.

      "Selama ini, kalau belum selesai (pembekuan PSSI dan sanksi FIFA) tidak mungkin berkompetisi (LSI), kalau hanya untuk eforia, tidak mungkin. Sekarang saja, usai Piala Presiden, tim-tim mau kemana?  Kita (manajemen Persipura) sudah tahu dari awal makanya kita tidak ikut," “tegasnya”.

      Disingung terkait pemain-pemain eks Persipura  yang telah memperkuat tim lain dalam turnamen piala Presiden lalu itu,  Sekum menuturkan, “Mengenai pemain-pemain eks Persipura Jayapura yang bermain di klub lain pada Piala Presiden atau turnamen lainnya, kami manajeman tidak memikirkan tentang soal itu.

Karena panda dasarnya, "Kita tidak ada urusan soal itu, kita tidak berbicara pemain tapi kita bicara tentang manajemen," “Jelasnya lagi”.

    Sekedar diketahui, “Dimana tanggapan  Sekum Persipura Jayapura, Rocky Bebena itu, terkait pendapapat, Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi berharap Persipura Jayapura dan Persebaya Surabaya bisa terlibat pada turnamen yang sesuai dengan rencana bertajuk Piala Jenderal Sudirman yang akan digulirkan awal November.

       "Harapannya diikuti banyak klub. Persipura dan Persebaya menjadi prioritas," kata Menpora Imam Nahrawi di Kantor Kemenpora Jakarta, Jumat (23/10/2015) lalu di Jakarta”.

(RIC). 



Hari ini, MRP dan MRPB, Gelar Raker Bersama Muspida Papua-Papua Barat.




Wakil Ketua MRP dan Wakil Ketua MRPB.(Icahd/foto)
Jayapura (SP) Majelis Rakyat Papua (MRP), bersama Majelis Rakyat Papua Barat MRPB). Mengelar rapat kerja dan rapat dengar pendapat tentang permasalahan pertahanan dan kependudukan di tanah Papua, Selasa 27 Oktober, 2015 di Salah satu hotel, di Kota Jayapura, Papua.

Demikian disampaikan oleh Wakil Ketua MRP, Pdt.Ofni Simbiak, S.Th, Senin (26/09/2015) di Kantor MRP, Kota Raja.

Wakil Ketua MRP, Pdt.Ofni Simbiak, S.Th kepada wartawan megatakan, “Permasalahan pertahanan dan kependudukan di tanah Papua ini, tentunya menjadi hal yang sering dipercakapkan oleh orang asli papua.

Sehingga, kami (MRP) selaku lembaga repentetatif dari orang asli papua berdasarkan Undang-undang OTSUS terkait tanah dan orang Papua, maka kami (MPR) perlu mendengar melalui duduk bersama dengan, Pemerintah Prov baik, Papua-Papua Barat, Kabupaten/kota Papua-Papua Barat, DPRP-DPRPB dan masyarakat di tujuh wilayah adat di Papua, tentang Permasalahan pertahanan dan kependudukan di tanah Papua yang mereka alami.

Kegiatan yang dilakukkan itu, merujuk pada pasal 21 huruf (a) dan pasal 22 huruf (a) tentang pemerintah memberikan keterangan, terkait bagaimana orang papua itu apakah dilayani, melihat pekembangan mereka, selain itu pasal 20 ayat 1 huruf (f) dimana menyebutkan, rakyat masyarakat perempuan papua, masyarakat agama dan masyarakat asli papua, agar dapat menyampaikan sejauh mana perkembangan dan peran pemerintah terhadap masyarakat adat di atas tanah papua.

Disingung terkait mengapa MRPB dan pemrintah prov.papua barat harus bergabung, sementara keduanya sudah mempunyai kewenangan masing, lansung dijawab oleh Wakil Ketua MRPB Zainal Abidin Bay, mengatakan, “Mengapa  kami (MRPB) bergabung, karena saat terjadi pemisahan antara MRP dan MRPB, bahkan Prov.Papua dan Prov.Papua Barat, “Kita MRPB dan MRP, sudah berkomitmen bersama, ketika kita berbicara tentang hak-hak dan kepemilikan dasar dari orang papua, kita satu dalam kesepahaman melalui temu bersama”.

Kegiatan yang kami (MRPB) bersama MRP lakukan ini, merupakan momentum yang tepat dari adanya, instrument hukum dari pemerintah terkait MK 35 tentang pembatalan Undang-undang 41 yang mengatur tentang hutan adat itu hutan Negara, telah diubah menjadi hutan adat adalah hutan yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat.Pungkasnya.

(RIC).
  
   
   
    



Jumat, 23 Oktober 2015

SLDS PLTA-PLTU Berkapasistas 70V Papua, Pertama Di Indonesia

Sistem travo yang berdaya 20 Mega Watt.(Icahd/foto).  
Jayapura (SP)- Single Line Diagram Sistem (SLDS) Pembantu Listrik Tenaga Air (PLTA) dan Pembantu Listrik Tenaga Uap (PLTU), berkapasitas 70.000 V yang dibangun oleh PT.PLN Persero wilayah Papua-Papua Barat. Merupakan suatu jaringan sistem listrik berdaya besar dan pertama di Indonesia.

Demikian disampaikan oleh General Manager PLN Wilayah Papua & Papua Barat Robert Sitorus, Jumat (23/24/2015) di Kampung Harapan, Distrik Sentani Timur, Kabupaten Jayapura.

General Manager PLN Wilayah Papua & Papua Barat Robert Sitorus kepada wartawan mengatakan, “Pembangunan sistem PLTA yang dibangun di wilayah Gemyem, Distrik Genyem, Kabupaten Jayapura itu, berkapasitas 20 mega watt.     

Dari PLTA Gemyem itu, kemudian dipancarkan melalui  transmisi melewati jalur kabel tower atau tiang listrik dikirimkan ke sistem travo yang berdaya 20 mega wat yang dibangun di Kampung Harapan, Distrik Sentani Timur, Kabupaten Jayapura. “kata Robert”.  

Setelah, diterima oleh sistem travo berdaya 20 mega watt di Kampung Harapan, kemudian diturunkan menjadi 20 Kv, baru disalurkan ke arah Sentani, Kota Jayapura maupun sekitarnya kepada konsumen “jelasnya”.  

Selain membangun PLTA di Genyem, PLN Wilayah Papua & Papua Barat juga membangun  PLTU di Holtekamp, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura.

Prinsip kerjanya sama, dimana dari PLTU di Holtekamp dipancarkan melalui transmisi melewati jalur kabel tower atau tiang listrik. Dikirimkan ke sistem travo berdaya 20 mega watt di Skaylen, Distrik Jayapura Selatan, Kota Jayapura. Kemudian diturunkan menjadi 20 Kv, baru disalurkan ke arah Sentani, Kota Jayapura maupun sekitarnya kepada konsumen.

Sekedar diketahui, dimana pemasangan sistem jaringan berupa kabel perantara arus linstrik dengan bantuan tower atau tiang listrik dari arah PLTA Genyem ke arah Sentani, kampung Harapan berjarak 74 kilo, dengan seratus lima puluh empat (154) tower atau tiang listrik.

Sedangkan, untuk  sistem jaringan berupa kabel perantara arus linstrik dengan bantuan tower atau tiang listrik. Dari arah PLTU di Holtekamp ke Skaylen, Kota Jayapura, sebanyak enam puluh delapan (68) tower atau tiang listrik.       

Sehingga, kebutuhan dari sitem pemasangan tower atau tiang listrik dari PLTA Genyem dan PLTU Holtekamp, PLN Wilayah Papua & Papua Barat memasang kabel perantara arus linstrik dengan bantuan tower atau tiang listrik sebanyak dua ratus dua  puluh dua (222) tower.

Disingung, terkait kapan konsumen menikmati Single Line Diagram Sistem (SLDS) Pembantu Listrik Tenaga Air (PLTA) dan Pembantu Listrik Tenaga Uap (PLTU), berkapasitas 70.000 V yang dibangun oleh PT.PLN Persero wilayah Papua-Papua Barat. Jawab, “General Manager PLN Wilayah Papua & Papua Barat Robert Sitorus, menuturkan, “Tentunya keinginan kita bersama bisa menikmatinya. Namun sebelum menikmatinya, tentunya dilewati masa pengujian sistem kerjanya.  

Semantara itu, Manager Jaringan Kota Jayapura, Paul menuturkan, “Untuk sistem kerjanya, kami sudah uji dengan batas waktu sepuluh hari, mulai sejak 12 Oktober 2015. Tetapi, karena sistem ini memakai sstem PLTA, sehingga sangat bergantung dengan debit air yang ada di PLTA Genyem yang tidak mampu mencapai 10 mega, sehingga kami menambah pengujian waktunya lagi sepuluh hari dan baru berjalan selama empat hari.  

Setelah melewati pengujian selama sepuluh hari, barulah tim sertifikasi dari jaser datang memeriksa dan menyatakan sudah layak pakai. Barulah dipergunakan secara komersil kepada konsumen di wilayah, Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura dan Kabupaten Kheroom.      

            Sedangkan untuk PLTU Holtekamp, sedang mengalami pengujian penguapan dengan mengunakan bahan kayu. Ketika, sudah memungkinkan barulah dipakai batu bara sebagai bahan utamanya.Pungkasnya.    

(RIC).

   
                 
    





Senin, 19 Oktober 2015

“Menyipaki Kasus Aceh, Puluhan Umat Kristen Papua, Mendatangi DPR Papua”

Umat Kristen Papua, Aksi Kemanusian di DPRP(Icahd/foto).    

Jayapura (SP)- Puluhan pemuda, mahasiswa, bersama umat Kristen Papua, Senin (19/10/2015) mendatangi kantor DPR-Papua, guna menyampaikan aspirasi mereka tentang persoalan kebebasan agama, penanganan persoalan, respon, dan penyelesaian kasus di aceh yang dinilai sangat diskriminatif oleh Negara, ini sangat berbeda dengan sebuah kasus yang terjadi di Tolikara waktu lalu.      


Demikian tuntutan dan seruan kemanusian yang disampaikan oleh Solidaritas Pemuda, Mahasiswa, Umat Kristen Papua, Peduli Kebebasan Beragama Di Aceh, Senin  (11/10/2015) di Kota Jayapura, Papua.     


Sekedar diketahui, aksi Pemuda, Mahasiswa dan Umat Kristen Papua yang tergabung dalam Solidaritas Pemuda, Mahasiswa, Umat Kristen Papua, Peduli Kebebasan Beragama Di Aceh dengan Tema “Kebebasan Beragama Di Aceh, Menjadi Duka Bersama Umat Beragama Di Indonsia” itu, terdiri dari, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI), Pemuda Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Pemuda-pemuda Dedominasi Gereja, dan umat Kristen  Papua.


Sekretaris Persekutuan Gereja-gereja di Kota Jayapura Pdt.John Baransano, S.Th mengatakan, “Pasca pembakaran gereja bahkan ada dua orang menjadi korban dari peristiwa itu. Dimana umat-umat Kristen di aceh harus mengungsi, sehingga kita perlu sadar dengan upaya bersama baik, Negara maupun semua komponen bangsa, untuk peduli kemanusiaan dan melihat sukarnya kebebasan beragama yang sedang terjadi di Aceh”.  

Pdt.John Baransano, S.Th menjelaskan, “Kehadiran solidaritas ini, merupakan bagian dari seruan untuk mengajak pemimpin-pemimpin umat beragama di Papua, Papua Barat bahkan seluruh pemimpin-pemimpin umat beragama di Indonesia. Untuk berbicara tegas tentang perlindungan bagi seluruh umat beragama berdasarkan kostitusi Negara yang kita anut bersama.   



Kehadiran puluhan Pemuda, Mahasiswa dan Umat Kristen Papua di kantor DPR Papua sekitar pukul 11:00 siang, sontak membuat para wakil rakyat itu terkejut, namun tidak membuat para wakil rakyat itu untuk pergi atau tidak melayani aksi kemanusian anak-anak muda dan umat Kristen Papua itu.

Dalam orasi yang disampaikan secara bergantian itu,  Pemuda, Mahasiswa dan Umat Kristen Papua, “Meminta pihak pemerintah pusat, dalam hal ini Presiden RI Joko Widodo, Mentri Agama, Kapolri, Panglima TNI bersama Mentri Dalam Negeri,  agar melihat dan merespon bahkan menyelesaikan persoalan di Aceh itu, sama dengan ketika mereka melihat masalah yang terjadi di Tolikara”.  

 “Negara ini dibangun, dengan menganut Pancasila dan UUD 1945 Pasal 29 yang menyebutkan, “Setiap warga Negara Indonesia, mempunyai hak yang sama dalam menjalankan kebebasan ajaran agamanya, menutrut keyakinannya masing-masing”.


Namun ketika Negara ini tidak lagi menjunjung tinggi nilai pancasila dan UUD 19945, maka suatu ketika umat beragama entah Kristen, Islam, Budha dan hindu, akan berkata, “Bahwa kami tidak mendapat perlindungan di dalam Negara ini, alangkah baiknya kita keluar dari Negara ini. Bagian ini yang sebenarnya harus menjadi pemikiran dan perenungan kita bersama dalam Negara yang menganut Negara Demokrasi ini”. “kata mereka”.
     

Selain itu juga, “Peristiwa di aceh, bukan rahasia umum lagi, karena sudah dan sudah sering terjadi. Sehingga tercermin tidak ada keadilan, walaupun Negara ini dibangun berdasarkan iuran kolosal atas nosinasi anak bangsa dengan tidak mengenal satu atau dua kelompok. Karena Negara ini, dibangun berdasarkan keragaman, hitorogenitas, dengan semangat keloktif anak bangsa untuk melahirkan sebuah Negara yang disebut Negara Indonesia ini untuk hidup bersama-sama. Kita juga telah bersepakat untuk menjadikan rumah bersama. Namun melihat apa yang dilakukan oleh saudara-saudara di Aceh, ini merupakan bagian dari pegingkaran terhadap sejarah berdirinya republik ini.


Semestinya, pemimpin-pemimpin Negara harus memberlakukan warna negaranya sama tanpa ada kasta mayoritas dan minoritas. Tetapai ketika ada pemilihan kasta mayoritas dan minoritas dalam kebebasan beragama, baik persoalan di seluruh Indoensia, secara khusus kasus di Aceh tidak berjalan, bahkan orang sulit untuk menjalankan ajaran agamanya, menurut keyakinannya.  Tentu menjadi hal yang harus diseriusi.


 Namun ketika dianggap sebagai sesuatu yang biasa “Ya, jangan salahkan kami, ketika kami sudah tidak bisa lagi bersama-sama dalam bingkai yang disebut bingkai NKRI”.


Sementara itu, Ketua Komisi V DPR Papua, Yakoba Lokbere dalam penyampian kepada Puluhan pemuda, mahasiswa, bersama umat Kristen Papua itu mengatakan, “Pesan-pesan kemanusian, serta kebebasan beragama yang telah dismapikan oleh anak-anak muda dan umat Tuhan di Tanah Papua. Kami selaku wakil rakyat, dipilih oleh rakyat, kami sangat merespon, dan akan meneruskan ke Jakarta, tentang apa yang menjadi tuntutan dari umat Kristen peduli kebebasan beragama di Aceh, dari Tanah Papua kepada Pemerintah Pusat.


“Sudah tidak dapat dipungkiri, bahkan disangkal lagi, “Bahwa belajar tentang sebuah proses toleransi dan kasih terhadap semama umat beragama, harus belajar dari tanah yang diberkati, tanah Papua”. Pungkasnya.
   

(RIC). 




Jumat, 16 Oktober 2015

Kelompok Cipayung, Gelar Seminar Hari Pangan Sedunia

Kelompok Cipayung, Gelar Seminar Hari Pangan Sedunia.(Icahd/foto).  
Jayapura (SP)- Memperingati hari pangan sedunia kelompok cipayung yang terdari dari Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI).

Mengelar seminar sehari “ketahanan pangan dalam era globalisasi”, Jumat (16/10/2015) di Sekretariat GMKI, Padang Bulan, Distrik Heram, Kota Jayapura.

Dalam seminar yang digelar itu, mengambil tema “Memberdayakan masyarakat asli Papua, sebagai pengerak dalam ketahanan kearifan local, menuju kebangkitan ekonomi kedaulatan pangan Papua yang mandiri dan sejahtera.

Terkait materi-materi, guna memberikan pemahaman dan pengetahuan kepada peserta seminar diberikan materi dengan judul, Dampak eksloitasi hutan terhadap perlindungan hutan sagu, Penting pemahaman dalam pemanpaatan dan perlindungan hutan sagu guna keberlansungan masa depan generasi anak cucu kitorang, serta Regulasi hukum yang dapat melindungi dan melestarikan hutan sagu sebagai makanan khas papua.

Ketua Cabang GMKI Jayapura, Seblom Libia kepada SULUH PAPUA mengatakan, “Kegiatan yang digelar ini, untuk mengembangkan pemikiran seluruh anggota dan civitas baik, GMKI, HMI maupun PMKRI, guna memahami persoalan krisis pangan baik berskala Nasional, regional maupun local.

Seblum melanjutkan, “Mengapa ini penting, mengingat persoalan pangan ini selalu menimpa terhadap Negara-negara berkembang seperti kita di Indoensia, dan lebih khusus ketahanan pangan di Papua yang didalamnya itu makanan pokok khas asli papua.  
“Sehingga kami selaku pemuda yang berkecimpung dalam kelompok  cipayung, merasa prihatin terhadap kurangnya produksi baru pohon sagu, serta pembudidayaan pohon sagu, guna mengantisipasi terjadinya peningkatan krisis pangan dikemudian hari”. “pesanya”.

Himbaunya, “Dengan perkembangan pembangunan di daerah-daerah papua baik, kota maunpun kabupaten. Namun dari perkembangan pembangunan itu, tentunya pohon sagu dan lahan ubi-ubian menjadi bagian yang tersentuh, sehingga  “Mari kita lihat, guna membudidayakan sagu dan ubian-ubian sebagai seuatu yang selian bernilai budaya khas papua, tapi juga menjadi nilai pariwisata bagi wisatawan yang berkunjun ke Papua.Pungkasnya.

(RIC). 
    
   
   



Kamis, 15 Oktober 2015

“Umat Kristen Papua, Mengecam Pelaku Pembakaran Gereja di Aceh”


  
Peduli Kebebasan Beragama Di Aceh.(Icahd/foto)
Jayapura (SP)- Pemuda, mahasiswa, bersama umat Kristen Papua mengecam bahkan mengutuk pelaku pembakaran gereja di Aceh.

Demikian seruan itu disampaikan oleh Solidaritas Pemuda, Mahasiswa, Umat Kristen Papua, Peduli Kebebasan Beragama Di Aceh, Kamis (15/10/2015) di Kota Jayapura, Papua.    

Sekedar diketahui, bahwa kehadiran Solidaritas Pemuda, Mahasiswa, Umat Kristen Papua, Peduli Kebebasan Beragama Di Aceh ini, terdiri dari yakni, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI), Pemuda Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Pemuda-pemuda Dedominasi Gereja, dan umat Kristen  Papua. 

Pengagas terbentuknya Solidaritas tersebut, Pdt.John Baransano, S.Th kepada Wartawan mengatakan, “Pasca pembakaran gereja bahkan ada dua orang menjadi korban dari peristiwa itu. Dimana umat-umat Kristen di aceh harus mengungsi, sehingga kita perlu sadar dengan upaya bersama baik, Negara maupun semua komponen bangsa, untuk peduli kemanusiaan dan melihat sukarnya kebebasan beragama yang sedang terjadi di Aceh”.   

Pdt.John Baransano, S.Th menjelaskan, “Kehadiran solidaritas ini, merupakan bagian dari seruan untuk mengajak pemimpin-pemimpin umat beragama di Papua, Papua Barat bahkan seluruh pemimpin-pemimpin umat beragama di Indonesia. Untuk berbicara tegas tentang perlindungan bagi seluruh umat beragama berdasarkan kostitusi Negara yang kita anut bersama.  

Namun ketika Negara ini tidak lagi menjunjung tinggi nilai pancasila dan UUD 19945, maka suatu ketika umat beragama entah Kristen, Islam, Budha dan hindu, akan berkata, “Bahwa kami tidak mendapat perlindungan di dalam Negara ini, alangkah baiknya kita keluar dari Negara ini. Bagian ini yang sebenarnya harus menjadi pemikiran dan perenungan kita bersama dalam Negara yang menganut Negara Demokrasi ini”. “katanya”.
      
Semantara itu, Tokoh Pemuda Papua, Yesaya Udam menuturkan, “Peristiwa di Aceh, bukan rahasia umum lagi, karena sudah dan sudah sering terjadi. Sehingga tercermin tidak ada keadilan, walaupun Negara ini dibangun berdasarkan iuran kolosal atas nosinasi anak bangsa dengan tidak mengenal satu atau dua kelompok.

“Karena Negara ini, dibangun berdasarkan keragaman, hitorogenitas, dengan semangat keloktif anak bangsa untuk melahirkan sebuah Negara yang disebut Negara Indonesia ini untuk hidup bersama-sama”. “jelasnya”.

Selain itu, kita juga telah bersepakat untuk menjadikan rumah bersama. Namun melihat apa yang dilakukan oleh saudara-saudara di Aceh, ini merupakan bagian dari pegingkaran terhadap sejarah berdirinya republik ini. “pesanya”.   

Sudah semestinya, pemimpin-pemimpin Negara di usia 70 tahun ini, agar melihat situasi kekinian di Aceh, untuk harus dikelola secara baik, dicela secara baik, harus dikelola secara holistik hingga diparipurnakan juga secara baik. “ajaknya”.   

Karena ini merupakan ujian bagi Negara yang berusia 70 tahun, ketika kebebasan beragama di Aceh tidak berjalan, bahkan orang sulit untuk menjalankan ajaran agamanya, menurut keyakinannya.  Tentu menjadi hal yang harus diseriusi.
 Namun ketika dianggap sebagai sesuatu yang biasa “Ya, jangan salahkan kami, ketika kami sudah tidak bisa lagi bersama-sama dalam bingkai yang disebut bingkai NKRI”. “tegasnya”.

Sementara itu, Kordinator umum Solidaritas Pemuda, Mahasiswa, Umat Kristen Papua, Peduli Kebebasan Beragama Di Aceh, Seblom Libia (Ketua Cabang GMKI Jayapura) mengatakan, “Kami akan melakukan aksi kemanusiaan bersama umat Tuhan di Papua, secara khusus kami di Kota Jayapura. Kami akan melakukan aksi dalam bentuk ibadah perenungan berupa KKR, Senin tanggl 19 September 2015 di halaman DPR-Papua terkait peristiwa yang terjadi di Aceh.

Sehingga melalui Solidaritas Pemuda, Mahasiswa, Umat Kristen Papua, Peduli Kebebasan Beragama Di Aceh dengan Tema “Kebebasan Beragama Di Aceh, Menjadi Duka Bersama Umat Beragama Di Indonsia” menganjak semua umat Tuhan, agar berpartisipasi dalam agenda ibadah KKR itu.Pungkasnya.      

(RIC). 



Senin, 12 Oktober 2015

“Gelar Operasi Justisia, Terjaring 12 Pasangan Mesum Bukan Pasutri”

 Kabag OPS Pelres Jayapura AKP.Sujono.(Icahd/foto).
 

Jayapura (SP)- Pemerintah Kabupaten Jayapura melalui jajaran SAT POLPP, Dinas Sosial, Dinas Capil, Polres Jayapura bersama TNI-AU, Senin (12/10/2015) Malam. Mengelar operasi yustisia dengan focus operasi yakni, Miras, Narkoba dan prostitusi terselubung dan seks bebas.

Sekedar diketahui dari operasi yustisia itu, bermula dari bekas Tanjung Elmo (tempat protistusi umum). Dimana petugas berhasil membekuk sedikitnya delapan orang pasangan “Mesum” bukan suami istri yang mengunakan tempat penginapan dan hotel diluar dari lokasi bekas Tanjung Elmo, untuk melakukan hubungan mesum itu.

Selanjutnya, petugas melanjutkan operasi ke arah Sentani, Kabupaten Jayapura di beberapa hotel di kota tersebut. Dimana di dua hotel itu, petugas kembali menemukan dua pasangan “Mesum” yang bukan suami istri dengan mengunakan hotel sebagai tempat pertemuan mereka.

Selain menemukan pasangan “Mesum”, petugas juga berhasil mendapati penghuni hotel lainnya yang sedang mengelar acara miras bersama, serta menemukan benda tajam jenis badik yang dibawa oleh salah satu penghuni hotel itu.  

Dari hasil rasia itu, para pelaku “Mesum” itu tidak diberikan sanksi hukum, namun hanya sebuah peryataan tertulis. Ketika, pada rasia lainnya nanti, ditemukan kembali pelaku “Mesum” yang sama, maka siap menerima sanksi hukum”.                 

Kabag OPS Pelres Jayapura AKP.Sujono kepada Wartawan Senin (12/10/2015) Malam mengatakan, “Tim gabungan yang kami turunkan dalam operasi yustisia kali ini, berjumlah 75 orang terdiri dari SAT POLPP, Dinas Sosial, Dinas Capil, Polres Jayapura dan TNI-AU”.

“Tujuan dari operasi yustisia ini, tentunya merasia orang mabuk, merasia tempat-tempat yang diduga sebagai tempat prostitusi maupun merasia kegiatan-kegiatan yang ilegal. Ini dilakukan demi terciptanya rasa nyaman, aman, dan kondusif di wilayah hukum Polres Jayapura maupun wilayah pemerintahan Kabupaten Jayapura” “Jelas Kabag OPS”.     

Selain itu, di Kabupaten Jayapura bakal digelar Wisata Vestifal bahari nasional, sehingga kami sebagai tuan rumah harus bisa memberikan rasa aman terhadap tamu-tamu dari sabang sampai merauke yang datang di tempat kita.Pungkasnya.
(RIC).    

  



“Di Demta, Anggota Polisi Menjadi Guru SD”




Bripka.Sahammudin, saat mendampingi anak didiiknya.(Icahd/foto)
Jayapura (SP)- Selain bertugas sebagai anggota polisi di wilayah hukum Polsek Demta yang masuk dalam wilayah hukum Polres Jayapura, Kabupaten Jayapura. Dimana oknum polisi berpangkat Bripka.Sahammudin selain menjalankan fungsi dan tugas kepolisian, namun disela-sela kedinansannya itu, Sahammudin menjadi guru pengajar di SD Negeri Inpres 1 Demta. Pantuan SULUH PAPUA, Senin (12/10/2015) di Distrik Demta, Kabupaten Jayapura.   

Kepala sekolah SD Negeri Inpres 1 Demta, Naomi Anadarinya kepada SULUH PAPUA mengatakan, “Kehadiran polisi menjadi guru pengajar melalui Sdr.Sahammudin ini, sangat membantu dan menolong anak-anak di SD Negeri Inpres 1 Demta.

Disingung terkait apakah memang SD Negeri Inpres 1 Demta ini, kekurangan guru sehingga Sdr.Sahammudin ini menjadi guru pengajar, Kepsek menuturkan“Ya, dibilang kurang ya memang kurang, karena kami hanya memiliki 5 guru PNS, ditambah 5 honorer yang terbagi dalam, 1 orang bidang tata-usaha, 1 orang penjaga sekolah, dan 3 orang lainnya menjadi guru pengajar, itu pun masih kurang”.

Sekedar diketahui, untuk program tahun ajaran 2015 ini, dimana guru-guru harus terverifikasi minimal sarjana (S1). Sehingga guru-guru yang ada di Demta itu, mendapat ijin study di Universitas Cendewasih, guna mengambil S1.   

Lanjut, Kepsek, “Ketika mereka pergi, “Tentunya proses belajar mengajar menjadi tergangu, karena mereka harus membagi waktu, dimana waktu untuk mengajar, dan dimana waktu untuk kuliah, demi mencapai standarisasi dari program sertifikasi guru”.   

Kepsek, menjelaskan, “Niat dari Sdr.Sahmmudin untuk mengajar ini, “Mungkin tergugah, saat melihat buku pelajaran milik anaknya yang masih kurang dengan mata pelajaran seperti mata pelajaran Agama Islam. Untuk mata pelajaran Agama Islam, memang sejak dua tahun terakhir ini kosong karena guru yang bersangkutan sudah pindah ke Provinsi Papua.

Sehingga terkait kekurangan guru agama islam ini, kami sudah sampaikan ke Dinas Pendidikan Kabupaten Jayapura, namun saran dari Dinas, kami pihak sekolah meminta bantu kepada ustad-ustad yang ada di Masjid Demta untuk mengajar agama Islam. “katanya”.    

Melihat belum adanya guru pengajar agama islam, akhirnya Sdr.Sahmmudin menawarkan diri untuk mengajar mata pelajaran agama islam, sehingga kami pihak sekolah membuka diri dan menerima Sdr.Sahmmudin untuk mengajar di tahun ajaran baru di tahun 2015 ini. “katanya lagi”.  

Namun dengan berjalannya waktu, Sdr.Sahmmudin meminta kepada kami pihak sekolah untuk menyampaikan kepada Kapolsek Demta, selaku pimpinannya tentang dirinya, selain jalankan tugas, tapi juga ada mengajar menjadi guru SD”. “tutur perempuan asli Demta itu”.    

Selain mengajar mata pelajaran agama islam, Sdr.Sahmmudin juga mengajar mata pelajaran lainnya mulai dari kelas satu hingga kelas VI yang keseluruhannya berjumlah 230 anak didik, didalamnya itu ada 18 anak didik beragama islam. Ini dilakukan untuk  mengisi kekosongan guru yang mengambil ijin belajar di UNCEN. “tegasnya”.  

Harapnya, “Selama guru-guru yang lain masih menjalani ijin belajar, bahkan Dinas Pendidikan Kabupaten Jayapura, belum menyiapkan guru agama islam, “Ya, mau tidak mau, suka tidak suka, Sdr.Sahmmudin tetap menjadi guru dan mengajar di sekolah kami”.Pungkasnya.

(RIC).  
      

    
  



Kapolsek Demta: Police Go To School, Sudah Menjadi Kebijakan Pimpinan


Kapolsek Demta, IPDA.Purwadi.(Icahd/foto) 
Jayapura (SP)- Police Go To School atau polisi masuk sekolah, itu merupakan kebijakan pimpinan yang harus direspon oleh satuan di bawah polres, guna menindaklanjuti sebuah kebijakan yang berhubungan dengan kepetingan orang banyak. Kebijakan ini, demi kepintingan masa depan bangsa mulai dari pendidikan di sekolah dasar.

Demikian disampaikan oleh, Kapolsek Demta, IPDA.Purwadi, Senin (12/10/2015) di Distrik Demta.

Kapolsek Demta, IPDA.Purwadi kepada SULUH PAPUA mengatakan, “Bahwa pendekatan Police Go To School atau polisi masuk sekolah disetiap jajaran polsek-polsek, guna membantu pendekatan pendidikan kewilayahan. Berdasarkan permasalahan pendidikan di wilayah itu”.

Disingung terkait tidak hanya ada SD Negeri Inpres 1 Demta saja, karena ada beberapa SD lain di wilayah Distrik Demta, yang mungkin memiliki persolan yang sama, Kapolsek menuturkan, “Untuk wilayah pemerintah Distrik Demta ada 7 kampung, tentunya didalamnya itu ada SD yang juga mengalami persoalan yang sama. Sehingga, dengan adanya anggota Babikamtibmas dikampung, mereka bisa membantu proses pendidikan di kampung itu”.


“Tidak ada kata, tidak bisa, tidak ada kata, tidak mungkin karena ini menjadi kebijakan pimpinan. Sehingga itu, kami satuan Polsek Demta, “Siap mejalankan program pimpinan terkait Police Go To School atau polisi masuk sekolah. Karena, kami sudah memulainya. Pungkasnya.   

(RIC).   

 



Jumat, 09 Oktober 2015

“LBH Pers Jakarta, Kecam Tindakan Arogansi Polisi Terhadap Wartawan”


LBH Pers Jakarta.(Icahd/foto).
Jayapura (SP)- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Jakarta mengecam tindakan arogansi aparat keamanan Kepolisian Resort Kota Jayapura dengan mengunakan alat Negara melakukan penodongan bahkan merampas alat liputan yang dipakai wartawan untuk melakukan aktifitas jurnalistiknya.

Demikian disampaikan oleh Asep Komarudin dari LBH Pers Jakarta melalui siaran pers yang diterima SULUH PAPUA, (08/10/2015) Malam.  
Lanjut Komarudin, “Tindakan oknum anggota Polisi tersebut sangat mencederai kebebasan pers dan kebebasan menyatakan pendapat di Indonesia yang sudah dijamin dalam kontitusi”.

Selain itu, perlakuan dari kepolisian resort kota Jayapura merupakan bentuk penghalangan atau menghambat kemerdekaan pers, dan tindakan tersebut adalah tindak pidana sesuai dengan undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers pasal 18 ayat 1 yang berbunyi, “Setiap orang yang melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi kebebasan pers dipidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).”. “jelas Asep”.  

“Apa alagi sampai menodongkan senjata, dan mencekik leher seorang wartawan serta peserta unjuk rasa itu. Merupakan tindak pidana penganiayaan sesuai dengan Pasal 352 KUHP. “tegasnya”.

“Pihak Kepolisian Resort Kota Jayapura telah melanggar hak asasi manusia karena telah membubarkan paksa aksi unjuk rasa sesuai dengan pasal 25 undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia yang menyatakan setiap orang berhak untuk menyatakan pendapat di muka umum.”


“Tindakan oknum Kepolisian Resort Kota Jayapura tersebut sangat bertentangan dengan semangat Presiden Joko Widodo yang membuka akses informasi khususnya bagi kebebasan pers di Papua,” “jelas asep dalam siaran persnya”.


Sehingga itu, LBH Pers Jakarta meminta, pertama, Kapolri memerintahkan Kapolda Papua untuk mengusut tuntas oknum kepolisian Jayapura Kota yang telah melakukan penganiayaan dan penghalang-halangan kebebasan pers dengan KUHP dan UU Pers.



Kedua, Kompolnas dan Komnas HAM agar segera melakukan penyelidikan terkait pelanggaran kebebasan pers dan menyatakan pendapat di muka umum.



Ketiga, Dewan Pers segera mendesak pihak kepolisian untuk mengusut tuntas kasus penghalangan dan penghambatan kebebasan pers di Papua.


Keempat, kepolisian Republik Indonesia, khususnya di wilayah Papua untuk menjamin kemerdekaan pers dan melindungi jurnalis yang sedang menjalankan aktifitas jurnalistiknya di Papua. Dan memastikan kejadian serupa tidak terulang kembali.Pungkasnya.
(RIC).




“Dari Kronologi Premanisme Aparat Keamanan Terhadap Pekerja Media”


Kebebasan Pers.(Icahd/foto).
Jayapura (SP)- Pasca pembubaran paksa oleh polisi terhadap puluhan pemuda/mahasiswa peduli kemanusian yang tergabung dalam Solidaritas Korban Pelanggaran (SKP) HAM Papua, Kamis (08/10/2015) di depan ruas jalan  Kantor POS Abepura, Kota Jayapura.
Selain dibubarkan paksa, polisi berhasil menahan sedikitnya  17 orang dari anggota SKP HAM Papua itu. Namun sayang, ditenggah aksi pembubaran paksa itu, justru ada wartawan yang menjadi korban dari aksi premanisme anggota polisi, saat wartawan hendak meliput atau mendokumentasikan aksi demo damai SKP HAM Papua itu.    
Salah satu wartawan yang menjadi korban dari aksi premanisme polisi itu yakni, Abraham You (Albert) yang seharinya-harinya menulis di majalahselangkah.com dan Koran/Tabloid Jujur Bicara (tabloidjubi.com) kepada SULUH PAPUA, Jumat (09/10/2015)  mengatakan, “Kronologis aksi kekerasan atau premanisme yang dilakukan oleh anggota polisi terhadap dirinya itu, bermula dari intimidasi yang berujung pada penondongan senjata dan perampasan kamera yang dilakukan anggota Kepolisian Resort Kota (Polresta) Jayapura, pada 8 Oktober 2015, sekitar pukul 14.40 Wit sore, di depan Gereja Katolik Gembala Baik Abepura, Jayapura, Papua, kemarin lalu.”.
Albert melanjutkan, “Sebelumnya, pada tanggal 7 Oktober 2015, sekitar pukul 19.23 Wit, saya mendapatkan kiriman pesan singkat (via handphone) dari Penehas Lokbere (Koordinator Umum SKP-HAM Papua) terkait aksi demo damai yang akan digelar pada tanggal 8 Oktober 2015 siang, bunyinya:

“Kepada Yth, Wartawan & wartawati di tempat! Kami SKP HAM Papua mengundang, untuk meliput berita, pada besok Kamis, 8 Oktober 2015. Pukul 13:00 Wip, sesuaikan degan waktunya teman-teman Biara dan Prater. Degan titik kumpul depan Merpati Abepura. Tujuan aksi ke Komnas Perwakilan Papua dan lanjut ke DPR-Papua. Demikian atas kerjasamanya diucapkan trima kasih. Peneas Lokbere, Kordinator umum SKP HAM Papua”.
“Pesan ini saya anggap sebagai undangan meliput aksi bagi wartawan di Kota Jayapura, karena itu saya melanjutkan pesan ini kepada sekitar 15 wartawan lainnya di dalam grup BlackBerry Messenger (BBM), dan turut mendapatkan respon positif, beberapa lagi menyatakan kesediaan untuk datang meliput aksi yang akan di gelar Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (SKP HAM) Papua ini”. “katanya”.

Keesokan harinya, Kamis (08 Oktober 2015) sekitar pukul 13.15 Wit, saya tiba di depan pertokoan Merpati, tepat di depan Gereja Katolik Gembala Baik Abepura (tempat dilangsungkannya aksi), sesuai undangan meliput yang disebarkan koordinator aksi kepada wartawan. Saya memarkir kendaraan roda dua saya tidak jauh dari tempat massa aksi berkumpul, atau tepatnya di depan Kantor LSM PTPMA Jayapura”.

Saat saya tiba di tempat aksi, puluhan massa aksi dari kalangan aktivisi, mahasiswa, pemuda, dan aktivis gereja sudah berkumpul lebih dulu, dan sedang melanjutkan orasi-orasi kecaman kepada negara karena tidak mampu menuntaskan penembakan empat siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) hingga meninggal dunia di Lapangan Karel Gobay, Enarotali, Paniai, Papua, pada 8 Desember 2014 lalu.”.

Saya juga melihat salah satu massa aksi berdiri di dekat jalan raya, dan terus memberikan selebaran aksi dan tuntutasan SKP-HAM Papua kepada warga kota Jayapura yang lalu lalang menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Karena saat itu belum ada wartawan yang tiba di tempat aksi, sayapun mengeluarkan kamera Canon EOS 1100D milik saya dari dalam tas, dan menggantung Kartu Pers di saku baju sebelah kiri, dan dari arah jalan raya, saya terus memotret ke arah massa aksi yang sudah mulai terus berorasi dengan posisi berbaris memanjang ke arah jalan raya, dengan memegang tiga baliho/spanduk besar dan belasan poster kecil.

Saat itu saya lihat ada sekitar 25 orang massa aksi yang telah lebih hadir. Saya mengambil beberapa foto dan video dari beberapa arah, samping kanan/kiri dan dari depan jalan raya. Setelah mengambil foto, saya menemui Koordinator SKP-HAM Papua/Koordinator Aksi, Penehas Lokbere dan meminta siaran pers atau tuntutan yang akan dikeluarkan SKP-HAM Papua, termasuk kepastian demo damai ke Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Kantor Komnas HAM Perwakilan Papua seperti yang disampaikan di dalam undangan kepada awak media.

Penehas kemudian memberikan satu buah pernyataan sikap massa aksi, dan mengatakan rute aksi seperti yang telah disampaikan melalui pesan singkat, yakni dari depan Gereja Katolik Gembala Baik Abepura akan menuju ke kantor DPRP dan kantor Komnas HAM Perwakilan Papua akan tetap dilakukan namun masih perlu komunikasi dengan aparat keamanan yang akan mengamankan jalannya aksi.

Saat sedang berbincang dengan Penehas, saya juga melihat belasan aparat Kepolisian Resort Kota Jayapura dari Unit Intelijen berdiri dan memotret dari arah depan massa aksi, tepat di depan pintu keluar/masuk Kantor Pos Abepura. Tidak lama kemudian, bergabung Julian Howay, jurnalis lepas di majalahselangkah.com dan Suara Papua (suarapapua.com), yang sebelumnya pernah bekerja untuk Surat Kabar Harian (SKH) Bintang Papua. Saya melihat Howay juga mengeluarkan kamera, dan terus memotret orasi-orasi yang dilangsungkan massa aksi.

Kemudian, sekitar 30 menit kemudian muncul lagi beberapa wartawan, seperti Oktovianus Pogau (dari suarapapua.com), Gamel (SKH Cenderawasih Pos), dan salah satu wartawan SKH Suluh Papua yang tidak saya ingat namanya. Tampak juga Benny Mawel, wartawan Tabloid Jubi, dan beberapa wartawan lainnya yang tidak saya lihat keberadaannya. Saat itu massa aksi belum bergerak atau menuju ke Kantor DPR Papua karena Kapolsek Abepura, Kompol Marthen Asmuruf, sedang berbincang-bincang dengan Koordinator Aksi, dan penasehat hukum massa aksi dan beberapa perwakilan dari Keusukupan Jayapura, karena Polisi tidak mengijinkan massa aksi untuk melanjutkan aksi dengan alasan belum mengantongi ijin dari Polisi.

Saat negosiasi sedang dilakukan, saya lihat beberapa frater atau biarawan dari Keuskupan Jayapura yang sedang mengenyam studi di Sekolah Tinggi Filsafat Theologia (STFT) Abepura, Jayapura, juga datang dengan satu buah mobil, dengan menggenakan jubah imam berwarna coklat, bergabung bersama massa aksi dan malahan beberapa imam justru mengambil tempat paling depan, dan ikut memegang poster-poster kecaman terhadap negara tadi.

Melihat beberapa imam ikut bergabung dalam aksi ini, saya juga kembali mengambil beberapa foto, beberapa wartawan juga terus mengambil foto, dan orasi-orasi terus dilanjutkan, disamping itu negosiasi dengan Kapolsek Abepura, dan kalau tidak salah satu pimpinan unit intelijen dari Polresta Jayapura yang menggenakan baju warna putih, dan Kapolsek Abepura juga ikut melakukan negosiasi, dan dilakukan di sebelah kanan massa aksi.

Saat orasi-orasi sedang dilangsungkan secara bergantian, juga negosiasi dengan koordinator aksi sedang berlangsung dengan Kapolsek Abepura, tiba-tiba saya mendengar bunyi sirene sangat kuat dari arah Jayapura, atau tepat dari arah lingkaran Abepura, ternyata satu buah truck Polisi, melaju dengan sangat kencang, tanpa diskusi dan dialog, tiba-tiba beringas masuk ke dalam barisan massa, dan secara paksa membubarkan aksi tersebut. Saat itu saya berada di sebelah kanan massa aksi, dan siapkan kamera untuk mengambil foto jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. 

Beberapa teman-teman wartawan saya lihat diam saja di tempat, beberapa lagi berusaha mengeluarkan kamera untuk foto namun mendapatkan bentakan dari Polisi yang tiba menggunakan truck tadi, akhirnya mereka menghentikan niat untuk mengambil foto. Saya juga awalnya tidak memotret, karena lihat aksi brutal aparat yang semakin beringat dengan membubarkan, menendang, dan memukul massa aksi dan diangkut ke dalam truck, saya bergegas dan siap untuk mengambil foto.

Dari arah belakang truck Polisi, saya lihat beberapa imam/frater yang menggunakan jubah coklat tadi ikut diangkut ke dalam truck, dengan cara mencekik di leher para imam, lantas saya dengan cepat mengambil beberapa foto, tiba-tiba dari arah depan muncul tiga anggota Polisi dengan memegang senjata laras panjang, dan menodongkan senjata ke dada saya, dan satu orang lagi mencekik leher saya, dan membentak saya untuk menghapus seluruh isi foto tadi.

“Hapus semua foto itu! Tidak boleh foto sembarang!” teriak anggota Polisi, saya kemudian mengatakan kalau saya wartawan, tiba-tiba salah satu anggota Polisi langsung merampas kamera saya dengan kasar. Saat itu saya tunjukan kartu pers, dan saya katakan kalau saya wartawan, dan berusaha mengambil kamera yang telah berhasil di rebut tadi, namun dua orang anggota Polisi berusaha menghalangi saya agar tidak mengambil kamera, atau menjauhkan saya dari rekan mereka yang sedang berusaha menghapus seluruh isi foto tadi.

Saya lihat salah satu anggota Polisi yang merampas kamera saya tadi bernama Marlon. Saat itu saya juga mau diangkut ke dalam truck Polisi, karena bebera anggota Polisi berbaju preman telah mengerumini saya. Rekan wartawan Oktovianus Pogau dan penasehat hukum massa aksi, Olga Hamadi mendatangi/menghampiri Polisi yang menahan saya tadi, dan mengatakan kalau saya wartawan, dan meminta agar kamera dikembalikan, dan saya tidak diangkat ke dalam truck.

Aparat Polisi yang bernama Marlon tadi berusaha untuk terus menghapus seluruh isi foto, saat kamera saya masih ditahan, saya berusaha menghampiri Wakapolresta Jayapura, Kompol Albertus Adreana, dan menyatakan saya wartawan, dan saya sedang menjalankan tugas peliputan/jurnalistik.
“Saya ini wartawan, saya sudah tunjukan kartu pers, kenapa anak buah bapak bersikap begitu kepada saya, bapak lihat kamera saya masih diambil, dan semua foto sedang dihapus,” kata saya ketika menemui Wakapolresta Jayapura di tempat aksi, namun saat itu  Wakapolresta tidak berkomentar sama sekali, dan bahkan menghiraukan saya.

Kamera saya ditahan oleh anggota Polisi bernama Marlon tadi selama 7 menit, dan dikembalikan setelah menghapus seluruh isi foto. Saat anggota Polisi sedang menangkap, menggeledah, dan mengangkut massa aksi ke dalam truck, rekan wartawan Oktovianus Pogau yang tidak terima dengan perlakukan Polisi terhadap wartawan, saat itu juga langsung menelepon Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Papua, Inspektur Jenderal (Irjen) Pol, Paulus Waterpauw.

Saya mendengar Pogau berbicara dengan Waterpauw terkait anggota Polisi di lapangan yang tidak menghargai wartawan, dengan cara menodongkan senjata, merampas kamera, mencekik leher wartawan, dan menghapus seluruh isi foto, padahal kartu pers dan asal media tempat bekerja telah ditunjukan secara jelas; Sekitar satu menit berbicara dengan Waterpauw, Pogau minta orang nomor satu di Polda Papua itu langsung berbicara dengan Wakapolresta Jayapura yang saat itu bertindak sebagai komandan lapangan.

Waterpauw berbicara kepada Wakapolrestas sekitar lima menit lamanya menggunakan HP milik Pogau, dan kemudian sempat dari balik telepon Waterpauw sempat meminta Wakapolresta meminta maaf secara resmi kepada wartawan, dan agar mengusulkan kepada wartawan untuk membuat laporan Polisi ke Propam Polda Papua, agar laporan tersebut dapat ditindaklanjuti dengan memberikan sanksi/hukuman kepada Polisi yang menghalang-halangi kerja dari wartawan mengambil foto maupun video.

Sebelum menutup telepon, Wakapolresta mengembalikan telepon kepada Pogau, dan Waterpauw sempat mengatakan kepada Pogau, bahwa laporan Polisi kepada Propam Polda Papua harus segera dibuat, agar ada efek jera bagi anggota yang melakukan intimidasi, dan menghalangi kerja-kerja jurnalistik di lapangan.

Albert berharap,  “Berbagai organisasi pers yang ada di Jayapura seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Jayapura, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan Indonesia Journalist Network (IJN) dapat segera menindaklanjuti dengan cara mendesak aparat kepolisian untuk memberikan hukuman oknum anggota Polisi yang menghalangi, dan menganggu tugas-tugas jurnalistik. Saya berharap, teman-teman organisasi pers bisa mendampingi saya dalam membuat laporan Polisi kepada Propam Polda Papua terkait tindakan anggota Polisi yang tidak menghargai profesi jurnalis yang kita cintai bersama.

(RIC).    


Dana Otsus Jadi Sumber Pembiayaan Utama APBD Provinsi Papua! Sementara Sumber PAD Dibawah Rata-rata Nasional

Jayapura |Selama periode tahun 2002 sampai dengan tahun 2020, dana Otonomi Khusus (Otsus) telah menjadi sumber pembiayaan utama dalam APBD P...